Selasa, 16 Juni 2020

Ta’lim Al-Muta’allim: Biang Kerok Kejumudan Pesantren? (2)



Mereka memandang sinis hal ini. Menurut mereka, pesantren adalah lembaga dengan sistem pengajaran yang dogmatis, memiliki kekolotan intelektual, dan terlalu kaku. Adapun semua hal ini ujung-ujungnya adalah menyatakan kekolotan kyai sebagai pemimpin pengajaran agama di pesantren dan juga kitab Ta’lim Al-Muta’allim sebagai landasan etika belajar santri.

Gus Fahmi Arif El-Muniry mengatakan,” Membicarakan kitab Ta’lim tidak ada habis-habisnya. Saya pernah bertemu dengan salah satau pakar pendidikan ternama di negeri ini. Perjumpaan kami tak lain adalah untuk mendiskusikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, kebetulan teman saya yang menjadi asistennya mengusulkan nama saya untuk menjadi pemateri acara rutin di kantornya.
Mendekarti hari yang di tentukan, saya menyiapkan segala sesuatu. Menyiapkan kerangka-kerangka ringan yang saya sadur dari kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Ibarat petarung, saya siap untuk berperang, karena yang akan saya hadapi adalah seorang pakar pendidikan yang (sebelumnya) menolak konsep kitab Ta’lim Al-Muta’allim.

Namun, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Memang, saya di kasih kesempatan untuk mempresentasikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Tapi, tidak asa tanggapan sama sekali. Malah, pakar pendidikan tersebut berkata, “Tahun 80’an saya pernah mengusulkan agar kitab Ta’lim Al-Muta’allim itu di bakar saja. Memang, saya tidak membacanya karena saya bukan orang pesantren. tapi saya banyak mendengar dari kawan-kawan saya yang orang pesantren bahwa isi kitab ini sangat membodohkan. Kitab ini memuji kyai setinggi langit, menghalangi santri untuk kritis. Suatu waktu, saya pernah menghadiri suatu acara pesantren. di sana saya melihat sendiri betapa orang orang berebut untuk mencium tangannya (kyai). Dengan cara ini, bagaimana tradisi ilmiyah berjalan di pesantren?.”

Di depannya saya pakar tersebut seperti hendak menumpahkan kekesalannya terhadap apa yang berjalan di pesantren. panjang sekali ia bercerita mengenai bobroknya gaya belajar pesantren (menurutnya), sehingga sayapun tidak kuat menceritakannya lagi.”

Padahal, kitab ini, adalah suatu kitab adab yang membentuk seorang pencari ilmu akan tingkah lakunya semasa belajar maupun ketika sudah selesai. Bisa dilihat sendiri, misalnya Syekh Az-Zarnuji mengatakan, bahwa setelah mempelajari agama, seseorang harus mempelajari yang namanya ilmu Hal. Ilmu yang berkenaan dengan bersosial, bermasyarakat, dan ilmu yang sesuai dengan zamannya. Misalnya ilmu tekhnologi, ekonomi, dll.

Keterangan-keterangan yang ada di dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini seharusnya membuat terpesona siapa saja yang mau memahaminya. Saya yakin, apabila orang di luar pesantren yang mau mempelajari, dan memahaminya secara sungguh-sungguh, pastilah mereka akan memikirkan ulang mengenai tudingan mereka tentang “kolotnya” kitab ini.

Ada lagi sebuah keterangan,” Abu Hanifah berkata, ’Saya mendengar ada seorang ahli ilmu dari Samarkand berkata, ‘seseorang datang jauh dari bukhara hanya ingin mendiskusikan persoalan tentang ilmu. Seperti inilah seharusnya yang dilakukan pencari ilmu, tak segan-segan mendiskusikan segala sesuatu. Allah saja memerintahkan kepada nabi untuk diskusi  dengan para sahabatnya. Padahal nabi adalah orang yang paling pandai, sehingga sepanjang hidup beliau biasa berdiskusi bahkan dengan para sahabatnya’”.

Ini menunjukkan bahwa Mushonnif ingin menunjukkan keharusan bagi seorang ahli ilmu untuk menambah ilmunya dan menambah semangat intelektualitas dengan cara berdiskusi dan berdialog. Ketika seseorang membaca buku, pada hakikatnya ia hanya akan menemukan pengetahuan yang tidak lebih dari 60% saja, selebihnya bisa dilakukan dengan tukar pikiran dan pendapat. Karena cara kerja pikiran hanya mampu mengungkap satu sisi saja sedangkan satu sisinya di tangkap oleh pikiran orang lain. Untuk menangkap kedua sisi itulah dibutuhkan diskusi dimana di dalamnya terdapat dua sudut pandang dari dua pikiran yang berbeda. Pada acara diskusi itu pula, pemahaman sepenuhnya dari suatu pengetahuan akan didapat dan di rajut.

Dalam konsep ilmu logika ada yang dinamakan Dialektika. Konsep ini di kemukakan oleh Hegel. Maksud dari konsep tersebut adalah hukum pertentangan antara dua oposisi setingkat yang akan mengantarkan pada proposisi yang lebih tinggi. Jadi, jika ada tesis maka akan muncul anti tesis dan sintesa.

Dalam hukum ini, tidak ada konsep yang benar maupun salah, dua proposisi tersebut bukanlah suatu penentang terhadap yang lain, melainkan justru untuk mengantarkan pandangan seseorang ke tingkat yang lebih tinggi.

Pesantren justru sudah lama melakukan hal iitu, dengan mengadakan musyawaroh-musyawaroh sughro maupun kubro, dan juga sebuah forum diskusi besar yang biasa di sebut Bahtsul Masa’il. Di mana para santri mengadakan forum musyawarah dan adu argumen mengenai suatu permasalahan yang juga di hadiri oleh pengasuh serta para ppentahqiq.

Nyatanya, aktifitas diskusi yang dilakukan para “penuduh” itu, justru adalah hal yang sudah dilakukan dan di anjurkan ulama-ulama terdahulu, bahkan sebuah kitab yang di anggap sebagai biang kekolotan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim. Syaikh Az-Zarnuji melihat besarnya manfaat dari diskusi ini, sehingga hal tentang diskusi di ulnag-ulang dalam kitab ini. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim adalah kitab yang mengajak orang untuk berfikirkritis, meluaskan pandangan dan mengajak santri untuk menerima perbedaan pendapat.

Kitab ini juga mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang intelektual yang arif, yang tiada hanya mengagungkan pengetahuan saja, namun juga bisa menyelaraskan kecerdasan akal, emosional, dan religiusitas. Sesuatu yang sat ini menjadi trend, bahkan di suatu kampus Universitas Islam Negri menerapkan Visi ini dengan menyebutnya “ Kesatuan Ilmu”.

Di dalam kitab ini pun menyebut bagaimana kita harus menguatkan kepekaan sosial. Tersebut dalam ucapan Mushonnif, “ menjadi seorang ahli ilmu harusnya wira’I, setengah dari wira’I adalah tidak terlalu banyak makan, tidak terlalu banyak tidur, dan tidak banyak berguarau. Dan di usahakan tidak makan di pasar (warung) karena mengakibatkan mudah terkena najis, mudah melupakan Allah, dan membuat hati orang-orang miskin yang melihatnya menjadi sakit lantaran mereka tak mampu membelinya. Kepedihan orang-orang itu membuat ilmu yang kita pelajari menjadi tidak berkah.”

Begitu jeli Syaikh Az-Zarnuji menguak kepekaan sosial, sampai- sampai, hal yang kita anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai efek yang besar. Pandangan seperti ini susah untuk di fahami dan ditemukan dari mereka epistemologi masyarakaat barat. Bagi mereka, hal ini adalah masalah lain yang bukan merupakan masalah inti.

Sungguh kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, hadir sebagai suatu hamparan mutiara yang tiada bandingannya. Asalkan bisa membaca dan bersungguh-sungguh untuk memahaminya. Di dalamnya terkandung ajaran yang sangat luar biasa dan tetap worth it sampai di masa yang akan datang. Di dalam kitab ini, terdapat kandungan materi pembelajaran yang jauh atas semua tudingan "terbelakang" orang-orang luar pesantren yang menganggap bahwa kitab ini dan pesantren adalah lambang kejumudan intelektualitas.

Judul : Ta'lim Al-Muta'allim Thoriq At-Ta'allum
Penulis: Syaikh Burhan Ad-Dien Az-Zarnuji
Jumlah Halaman : 136
Penerbit : Maktabah Al-Anwariyyah
Kota: Sarang Rembang
Tahun : 1431

Oleh: Muhammadun (Khadim Ihya'ussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)

Ta’lim Al-Muta’allim: Biang Kerok Kejumudan Pesantren? (1)



Kalangan pesantren pastinya mengenal sebuah kitab adab yang bernama Ta’lim Al-Muta’allim. Kitab karangan Syaikh Al-Zarnuji ini mempunyai segudang cerita menarik, serta ajaran-ajaran mengenai etika maupun akhlak bagi santri, atau orang yang sedang mencari ilmu. Pengajaran adab dalam kitab ini, sangat mengena dan seperti menarasikan karakteristik masyarakat Nusantara, khususnya Jawa kuno. Oleh karena itu, kitab ini sangat populer dikalangan masyarakat muslim Nusantara sebagai pengajaran etika untuk di ajarkan kepada para santri.

Kitab ini di tulis oleh syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Zarnuji, beliau adalah seorang ulama’ kelahiran Zarnuj, Turki. belum ditemukan data konkret mengenai profil beliau.  Tidak ada yang mengetahui kapan kelahiran maupun wafatnya beliau, beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa beliau wafat pada 591 H. ada pula yang mengatakan, bahwa beliau wafat pada tahun 640 H.

Penulisan kitab Ta’lim Al-Muta’allim di sebabkan kegundahan Mushonnif, saat melihat banyaknya para santri saat itu, gagal atau sulit memperoleh apa yang mereka cari, seperti yang tertulis dalam mukaddimahnya. Banyak yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, tetapi tidak memperolehnya. Ada juga yang berhasil, namun tidak memperoleh manfaatnya, seperti kemampuan untuk mengamalkan dan mengajarkannya.

Pada zaman Mushonnif, Ilmu berkembang pesat, seiring meluasnya wilayah kekhalifahan kaum muslimin. Ilmu menjadi duatu faktor tinggi, dan majunya umat muslim saat itu. Energi Iqro’ dari Al-Qur’an yang menjadi perlambang ilmu pengetahuan semakin kuat.

Awalnya pada masa khulafa’ arrasyidin,. Sepeninggal Rosulullah, para khalifah mengirimkan para sahabat ke seluruh penjuru, untuk memberikan pengajaran tentang Islam, dan berbagai macam pengetahuan lainnya. Kemudian setelah masa kekhalifahan Umawiyyah, ibukota di pindahkan ke Damaskus, Syiria yang penuh dengan peninggalan kebudayaan Yunani, yang terkenal maju. Selruh pengetahuan Yunani, kemudian di terjemahkan pertama kali oleh khalifah Khalid bin Walid kedalam bahasa Arab.

Keilmuan yang semakin maju tersebut berbarengan dengan runtuhnya kekhalifahan Umawiyyah, yang kemudian di gantikan oleh masa kekhalifahan Abbasiyyah. Tidak berhenti sampai di situ, transisi kekuasaan tidak meruntuhkan geliat intelektual saat itu. Malahan, khalifah Al-Manshur memboyong seluruh ulama’, ahli ilmu, dan para penerjemah ke Baghdad, untung merangsang pengembangan pengetahuan. Pada masa ini, di sebut The Golden Age dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak sekali Halaqoh-halaqoh intelektual yang di selenggarakan di banyak tempat bahkan di sudut-sudut tempat.

Kemudian oleh kyai Mushonnif, Syekh Az-Zarnuji dijawab, bahwa hal itu di karenakan para thullab telah melenceng dari jalurnya. Mereka tidak mengetahui syarat-syarat mencari ilmu, sehingga akibatnya mereka gagal dalam mencari ilmu. Dalam kitab tersebut, Syekh Az-Zarnuji memaparkan dan mengarahkan bagaimana mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bagaimana adab dalam memilih guru, teman dan juga ilmu dengan waktu yang ideal. Kitab ini merupakan karya penelitian atas perilaku ulama-ulama sebelumnya yang telah di anggap berhasil. Maka, kita pun di suguhkan kisah-kisah cerita para ahli ilmu, serta hadist-hadist nabi yang berkaitan dengan ilmu.

Pada hakikatnya, semua yang di tulis oleh Mushonnif adalah hikmah konsep dari pembelajaran para Ulama’-ulama’ dan didukung pula oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist. Mushonnif juga menggunakan fashl dalam metode penulisannya, beliau menulis tiga belas fashl;
1. Menerangkan tentang mengenai hakikat ilmu dan Fiqh sebagai sumber dasar mencari ilmu.
2. Menerangkan tentang niat dalam mencari ilmu.
3. Menerangkan tentang Memilih ilmu yang di pelajari, dan memilih guru serta teman yang teguh  dalam mencari ilmu.
4. Menerangkan tentang Memulyakan ilmu dan ahli ilmu serta keluarganya.
5. Menerangkan tentang Kesungguhan mencari ilmu, dan mempunyai cita-cita yang tinggi.
6. Menerangkan tentang Permulaan belajar, kadarnya, dan urutan ilmu yang di pelajari.
7. Menerangkan tentang Tawakkal, pasrah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
8. Menerangkan tentang Waktu belajar.
9. Menerangkan tentang Tentang kebaikan.
10. Menerangkan tentang Tentang cara mencari faedah dalam ilmu.
11. Menerangkan tentang Larangan menjauhi maksiyat.
12. Menerangkan tentang Etika menghafal.
13. Menerangkan tentang Hal-hal yang memudahkan memperoleh rizki, umur, dan hal-hal yang menghalanginya.

Kitab ini, oleh kalangan di luar pesantren, di anggap sebagai akar penyebab kemunduran tradisi intelektualisme pesantren. karena mereka menganggap, bahwa aktivitas intelektualisme, diskusi, halaqoh-halaqoh yang membuka lebar kran pendapat atau adu argumentasi sama sekali tidak di temukan. Sementara yang sering di jumpai adalah sistem pendidikan konvesional yang di kenal dengan sistem ngaji bandongan. Kyai membacakan materi dari kitabnya, sedangkan santri mendengarkan dengan patuh, menundukkan hati, mata dan pikirannya. Santri sendiko dawuh dengan apa yang di tuturkan kyai sebagai mahaguru.

Bersambung...


Oleh: Muhammadun (khadim Ihyaussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)

Kamis, 11 Juni 2020

KH. Aniq Muhammadun: Dakwah Aswaja Mendominasi


KH M Aniq Muhammadun (Ahad, 7 Juni 2020), Rais Syuriyah PCNU Pati Dan Pengasuh PP Mambaul Ulum Pakis Tayu dawuh: Alumni Mesir diperintah menggelar pengajian supaya dominasi kaum Wahabi dalam dakwah online bisa disaingi. Dawuh Ulama sepuh yang dikenal pakar nahwu Dan fiqh ini menjadi motivasi kader-kader Aswaja untuk aktif berjuang mewarnai dunia dakwah digital untuk melawan kaum Wahabi yang sudah lebih dahulu mendominasi dakwah online-digital.

Pesantren dengan segudang ulama yang pakar agama, bulan Ramadan kemarin telah mewarnai dakwah digital ini dengan menggelar pengajian kitab secara online sehingga bisa dinikmati para alumni Dan publik dalam skala luas.

KH M Aniq Muhammadun memberi teladan dengan menggelar pengajian online bulan Ramadan kemarin. Salah satu kitab yang beliau balah (baca) adalah Riyadlus Shalihin karya Mujtahid Fatwa Madzhab Syafii, yaitu Imam Nawawi.

Dawuh ulama sepuh yang pemahaman kitabnya sudah tahqiq (teliti-mendalam) yang menjadi mushahhih Bahtsul Masail tingkat PBNU, PWNU, Dan PCNU ini menjadi menjadi pelecut ulama-ulama muda untuk meneruskan dakwah online yang sudah dimulai bulan Ramadan.

Jangan sampai spirit dakwah digital ini redup karena kalangan Wahabi semakin gencar mengisi ruang dakwah online secara massif. Sebagaimana yang didawuhkan KH Ali Ma'shum dalam muqaddimah kitab Hujjatu Ahlissunnah mengutip dawuh Nabi, jika bid'ah sudah beredar, maka orang alim harus menampakkan ilmunya agar kebenaran tampak-menang.

وقل جاء الحق وزهق الباطل ان الباطل كان زهوقا

والله اعلم بالصواب

Pakis, Ahad, 7 Juni 2020

Sumber : Jamal Pati