Diceritakan,ketika itu Sultan Mahmud beserta para bala tentaranya terombang ambing di tengah Samudera. Semakin lama ombak semakin besar menerjang kapal Sultan dan pengikutnya. Kapal pecah setelah membentur karang, seluruh barang bawaan terhanyut oleh gelombang yang datang. Tinggal Sultan Mahmud dan pengawal setianya yang bertumpu di kayu sisa pecahan kapalnya.
Potongan kayu sisa pecahan kapal yang dibuat pegangan berdua dengan sang patih akhirnya menepi di sebuah pantai dekat perbukitan. Tak berapa lama didera kebingungan ada seorang pencari ikan yang melintas. Dipundak lelaki tersebut ada kepis (wadah ikan dari bambu anyam). Lalu kepada lelaki itu Sultan Mahmud bertanya.
"Ini adalah kawasan bukit Bonang. Di atas sana ada seorang lelaki yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang..." belum selesai lelaki pencari ikan itu bicara Sultan Mahmud menyela. "Kisanak antarkan aku ke Sunan Bonang sekarang juga," pintanya tergesa.
Lalu Sultan Mahmud diantar oleh lelaki itu ke sebuah gubug di puncak bukit. Ada ragu di dalam hatinya melihat gubug yang tak layak untuk seorang yang terkenal macam Sunan Bonang. Lama tercenung melihat gubug itu namun ketika hendak bertanya kepada pencari ikan yang mengantarnya, ternyata lelaki itu telah pergi.
Saat keraguan itu semakin mendera hatinya, Sultan berniat kembali ke pantai mencari lelaki pencari ikan yang tadi mengantarnya. Untuk mengucapkan terimakasih dan memastikan apakah gubug tersebut adalah rumah tinggal Sunan Bonang. Ketika hendak berbalik tiba-tiba sebuah suara muncul dari dalam rumah. "Sultan Mahmud, jika kau hendak mencari kebenaran akulah Sunan Bonang. Namun jika engkau hendak mencari kemewahan kembalilah ke Minangkabau di kerajaanmu!". Sultan Mahmud terhenyak mendengar suara itu.
Lebih heran lagi, ketika sultan Mahmud masuk ke dalam gubug yang dianggap tak layak tersebut. Saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah dadanya bergetar hebat. Seperti ada kegelisahan yang entah dia sendiri tak mampu menggambarkannya. Getaran hebat itu menuntunnya pada sebuah kedamaian yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tiba-tiba air matanya meleleh, mengucur begitu deras. Merasakan bahwa dialah orang paling sombong di dunia ini. Sebuah titik kesadaran yang tiba-tiba saja merasuk ke sanubarinya. Entah datang dari mana.
Lelaki bersahaja keluar dari dalam rumah. Membawa kepis lalu disodorkan kepada sang Sultan. Sultan Mahmud hanya berfikir, bukankah kepis itu milik pencari ikan yang tadi mengantarnya ke gubug ini? "Benar Sultan. Ini adalah milik pencari ikan yang tadi mengantarmu. Akulah pencari ikan itu. Kini bukalah kepis ini, bukankah ini yang kau risaukan selama ini," ucap Sunan Bonang.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, segera Sultan Mahmud membuka kepis yang disodorkan Sunan Bonang. Benar, ternyata kitab-kitab yang dibawanya dari Minangkabau. tadi telah dianggap hilang oleh Sultan ketika kapal pecah dihantam ombak. Hati Sultan Mahmud semakin yakin bahwa Sunan Bonanglah orang yang dia cari selama ini. Goncangan dadanya semakin kencang antara bahagia dan terharu bertemu sang Guru.
Hatinya menjerit bahagia. Meluruhkan syukur dan pengakuan kemaha besaran Allah, Tuhannya. Semakin deras air matanya mengucur membasahkan kegelisahan. Kegalauan yang menderanya selama ini.
"Benar kanjeng Sunan. Dan karena kitab-kitab inilah yang membuatku mengembara sejauh ini," ucap Sultan mahmud memulai cerita. Bahwa Sultan Mahmud mendapatkan hadiah dari Raja Minangkabu, ayahnya. Namun dia sendiri tidak mampu menafsirkan makna kitab-kitab miliknya. Kegelisahan semakin mendera hatinya dari hari ke hari. Hingga suatu ketika dia mendapatkan semcam perintah untuk pergi ke pulau jawa. "Hanya ulama di sana yang mampu mengajarkanmu makna terdalam dari hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," kata suara tersebut.
Maka berlayarlah Sultan Mahmud bersama pasukannya menuju pulau jawa. Pertama mula dia sudah mendengar kehebatan Kasultanan Banten. Maka pelabuhan pertama saat dia berlayar adalah Kasultanan Banten. Namun Sultan Mahmud harus menahan kekecewaan. Karena para pujangga dan ulama-ulama di Kasultanan Banten tidak ada yang mampu memberi jawaban. Justru menyarankan Sultan untuk terus berlayar ke timur. "Di timur pulau jawa Sultan akan temukan orang yang tepat," ucap Sultan Banten kala itu.
Perjalanan dilanjutkan ke timur. Mendengar kehebatan orang-orang Cirebon akhirnya sang Sultan berhenti di Kasultanan Cirebon. Takjub sang Sultan melihat kesederhanaan masyarakat Cirebon. Kasultanan yang begitu damai menyambutnya sebagai keluarga. Namun kitab sang sultan tetap juga tak mampu dibabar di sana. Sama dengan Kesultanan Banten, Sultan Cirebon juga menyarankan Sultan mahmud untuk pergi ke timur.
"Hingga akhirnya saya terdampar dan kini menghadap kanjeng Sunan Bonang. Saya berharap Kanjeng Sunan sudi mengangkat saya menjadi murid dan mengajarkan saya tentang hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," pinta Sultan Mahmud pada Sunan Bonang.
Sunan Bonang menerima Sultan Mahmud menjadi murid. Mengajarkan tentang kebenaran dan hakikat hidup. Menafsir terjemahkan makna yang terkandung dalam kitab pemberian ayah Sultan Mahmud. Terjawab sudah kegelisahan Sultan Mahmud selama ini. Merasakan anugerah maha besar karena dipertemukan kepada sang guru yang mampu membimbingnya. Menuntun kepada kebenaran dan hakikat kesadaran.
Telah cukup yang kau pelajari di bukit ini. Kita telah bersama mencecap kemahabesaran Tuhan. Kini yang terakhir permintaanku, ucap Sunan Bonang pada Sultan Mahmud. Kau mesti bertapa berdiri. Dipilihkan sebuah tempat di sebelah utara bukit tempat Sunan Bonang tinggal.
Sultan Mahmud memulakan tapanya. Keyakinan yang begitu dalam pada sang guru membuat Sultan Mahmud begitu ihlas dan patuh. Tidak ada kehendak untuk bertanya apalagi membantah perintah. Dalam hatinya hanyalah cinta dan kesetiaan pada sang guru yang telah membimbingnya. Karena baginya apapun yang dikatakan guru adalah kebenaran.
"Janganlah kau beranjak dari tempat ini sebelum aku kembali," ucap Sunan Bonang sembari menanam dua biji asam jawa di sebelah kanan dan kiri Sultan Mahmud berdiri. Sunan Bonang lalu kembali meneruskan kegiatannya dalam mengajar murid. Sedang Sultan Mahmud tetap berdiri dalam kepatuhan. Tapa Nggejejer (berdiri) dan theruk-theruk (berdiam). Kelak tampat tersebut terkenal dengan sebutan Jejeruk. Berawal dari kalimat Nggejejer dan Theruk-theruk, Berdiam dengan berdiri memohon dibukakan pintu mata dan hatinya. Mengikuti perintah sunan Bonang, sang guru.
Saat Sunan Bonang kembali pohon asam yang ditanam telah tumbuh besar. Sultan Mahmud masih berdiri di sana sebagaimana perintahnya. Gambaran kepatuhan seorang murid kepada guru sejatinya.
"Seberapa lama yang kau rasakan waktu ketika aku meninggalkanmu berdiri bertapa Sultan Mahmud?" tanya Sunan Bonang.
"Saya merasakan beberapa saat saja guru. Tidak dalam waktu yang cukup lama. Karena aku merasakan keindahan sebagaimana yang guru sampaikan. Bahwa saya tidak merasakan apapun kecuali Tuhan yang menggerakkan seluruh nadi hidup ini. Taka ada yang terdengar tak ada yang terasa kecuali kemahabesaran Tuhan semata. Namun sepertinya kanjeng Sunan meninggalkan saya antara waktu zuhur hingga asar. Tak lebih dari lima jam saya berdiri di sini," ucap Sultan Mahmud.
"Kini kembalilah kau ke Minangkabau. Seluruh rakyatmu telah menantimu di sana. Usai sudah proses perjalananmu. Kitab yang kau bawa telah kau temukan makna terdalamnya," pinta Sunan Bonang.
"Terimakasih atas titah Kanjeng Sunan. Bahwa kitab yang saya bawa telah sempurna memberikan ajaran kepada kita. Apabila diperbolehkan maka hamba ingin memohon satu hal. Bahwa Kerajaan beserta kemewahannya telah saya tinggalkan. Damai di sini bersama Kanjeng Sunan dalam pengabdian. Lalu apakah aku harus kembali menapaki hari-hari risau dalam gelimang kemewahan dunia. Sedang hatiku tidak lagi berada di sana. Telah nyawiji bersama alam ini dalam memuji. Maka perkenankanlah saya mengajak isteri saya untuk mencecap keindahan perjalanan di sini. Bahwa dunia telah berjalan sebagaimana adanya. Bahwa kerajaan telah terpimpin dengan adil oleh yang memegang amanah. Sebagai murid Bonang saya tidak mau menjadi raja yang dzolim. Raga di sana namun jiwa jauh berada di bukit ini bersama kanjeng Sunan," pinta Sultan Mahmud.
Dan permintaan itu disetujui oleh Sunan Bonang. Bahwa hidup dan perjalanan telah dipilih Sultan Mahmud. Dia telah memilih untuk meninggalkan gelimang dunia. Merasa lebih damai nyawiji bersama alam dalam kesederhanaan dan tanpa beban. Menyisakan kisah dan sejarah perjalanan untuk generasi berikutnya.
Akhirnya Sultan Mahmud beserta Siti Asiyah, isterinya menghabiskan hidup di sana. Sebelah utara pasujudan Sunan Bonang. Di Puncak dari bukit Watu Layar, Desa Binangun Kecamatan Lasem.
Demikianlah sekelimut cerita tutur yang bisa saya tuturkan ulang bagi kerabat akarasa sekalian. Beliau ini dikenal juga dengan nama Kyai Jejeruk (Mbah Jejeruk) adalah Raden Abdur Rokhman atau juga dikenal sebagai Sultan Makhmud. Beliau adalah raja dari kerajaan Minangkabau.
Ketika ayahnya wafat, Sultan Makhmud mendapat tinggalan warisan sebuah kitab, tetapi sayangnya beliau belum dapat memahami arti yang terkandug dalam kitab tersebut.
Untuk itu beliau pergi sampai ke Mesir dan Mekah untuk mencari seorang guru yang dapat menerangkan maksud atau arti dari kitab yang dimilikinya, tapi hasilnya sia-sia. Sehingga hatinya bertambah susah, mengapa beliau mendapat warisan sebuah kitab yang tidak diketahui maksudnya.
Kebetulan ada seorang pengail yang mengetahui bahwa di tanah Jawa ada ulama yang sangat alim, tentang hal tersebut disampaikan kepada Patih dan oleh Sang Patih kabar tersebut disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bergembira dan memutuskan untuk segera berangkat ke tanah Jawa untuk menemui Kiai yang dimaksud.
Dengan perbekalan yang cukup berangkatlah Sultan Mahmud beserta patihnya dengan menumpang sebuah perahu besar, sayang ditengah perjalanan datanglah angin kencang yang mengakibatkan perahu tadi terguling. Semua perbekalan beserta kitab beliau hilang, masuk ke dasar laut.
Sultan Mahmud susah karena hilangnya sebuah kiab yang sangat berharga. Karena kebingungannya itu, Sultan Mahmud bermaksud untuk kembali ke kerajaan. Oleh Sang Patih hal tersebut tidak disetujui. Dengan rasa berat, diteruskalah perjalanannya hingga dapat menemui Sang Kiai.
Di hadapan Sang Kiai (Kanjeng Sunan Bonang) Sultan Mahmud memperkenalkan diri, maksud kedatangannya beserta musibah yang menimpa dalam perjalanannya. Tiba-tiba Sang Kiai mengeluarkan sebuah kitab dari sakunya, dan menanyakan apakah kitab ini yang dimaksud. Setelah diteliti oleh Sang Raja, benar bahwa kitab itu adalah miliknya. Seketika itu Sultan Mahmud melepas pakaian dan pangkat kesultanan, sujud (sungkem) dihadapan Kanjeng Sunan Bonang tetapi hal itu dicegah oleh Kanjeng Sunan.
Kanjeng Sunan Bonang mulai membaca dan menerangkan semua isi yang terkandung dalam kitab tadi dan akhirnya difahami oleh Sang Raja. Setelah Sang Raja memahami semuanya, beliau memerintah kepada Sang Patih untuk kembali ke Minangkabau dengan beberapa pesan :
1. Beliau (Sultan Mahmud) akan menetap di tanah Jawa (Bonang)
2. Memberi kebebasan kepada Sang Putri Ratu (istri) untuk memilih tetap tinggal di keraton, atau menyusul ke Jawa.
3. Menyerahkan tahta kerajaan kepada adik baginda raja, untuk memegang pusat pemerintahan Minangkabau.
Karena kesetiaan sang putri kepada sang suami Baginda Raja, maka beliau tetap memilih untuk menyusul ke tanah Jawa, waau harus melepas tahta kerajaan. Akhirnya Sultan Mahmud beserta istri menjadi murid yang setia dari Kanjeng Sunan Bonang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar