Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah KeIkhlasan Gus Dur



Dikisahkan oleh Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, tentang keikhlasan sosok KH AbdurrahmanWahid (Gus Dur). Suatu hari KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) menggelar acara pernikahan putra beliau. Saat itu, untuk membantu kelancaran acara, Gus Dur memberikan bantuan banyak sekali  sehingga acara pernikahan dapat berjalan dengan baik.

Selanjutnya Gus Dur pun berkata kepada Mbah Moen bahwa kewajibannya untuk membantu acara Mbah Moen sudah dilaksanakan. Sekarang saatnya Mbah Moen membantunya dengan menutupi semua amal kebaikan yang sudah dilakukannya dan tidak menceritakan kebaikannya tersebut kepada orang lain dengan berbagai cara. Salah satunya, Gus Dur meminta kepada Mbah Moen untuk pura-pura saling bermusuhan agar segala amal kebaikannya tidak diketahui oleh orang lain. Cukup Allah SWT yang tahu. Oleh karena itu ketika semasa hidup Gus Dur, Mbah Moen dan Gus Dur terlihat sangat bermusuhan karena memang sudah direncanakan untuk bersandiwara.

Namun ketika Gus Dur meninggal dunia, sandiwara pun usai. Mbah Moen lah yang memimpin prosesi pemakaman Gus Dur. Tidak hanya itu, prosesi selanjutnya, Mbah Moen lah yang mengimami tahlil takziyah hari ketujuh. Mbah Moen lah yang mengisi mauidzah hasanah peringatan 1000 hari wafat dan haulnya Gus Dur. Jadi sebenarnya Gus Dur dan Mbah Moen tidaklah bermusuhan namun hanya bersandiwara atau pura-pura permusuhan untuk menutupi amal baik Gus Dur. “Gus Dur benar-benar wali,” kata Kiai Marzuki Mustamar.

Kisah kedua tentang keikhlasan Gus Dur terjadi saat Gus Dur membawa tiga buah koper ke rumah seseorang yang bernama Agus di  Kelurahan Jatikerto Malang. Gus Dur berkata kepada Agus untuk tidak membuka koper tersebut sebelum  Gus Dur meninggal dunia.

Sesuai amanah, setelah Gus Dur meninggal dunia, dibukalah koper tersebut dan ternyata didalamnya berisi uang sebanyak 3 miliar rupiah. Saat dibuka, uang dalam koper tersebut sudah dimasukkan ke dalam amplop yang nantinya, Agus lah yang bertugas untuk membagikannya kepada para anak yatim piatu dan para janda di Kabupaten Malang.

Dan luar biasanya lagi, di dalam amplop tersebut sudah tertulis nama dan alamat yatim piatu dan para janda yang akan menerimanya. Inilah karomah Gus Dur bisa tahu nama dan alamat anak yatim dan para janda sebegitu banyak di Malang. Padahal kala itu, Gus Dur berada di Jakarta sedangkan para penerima uang dalam koper berada di Kabupaten Malang.

Kiai Marzuki pun pernah merasakan sendiri keikhlasan dari Gus Dur saat dirinya mendapatkan sarung merk BHS yang diberikan Gus Dur melalui seorang Habib di Sidoarjo. Habib tersebut berkata bahwa sarung itu adalah titipan dari Gus Dur yang harus diberikan kepada para kiai setelah Gus Dur meninggal Dunia. Karena ketika dibagi sebelum Gus Dur meninggal, maka para kiai akan mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur. Maka itu, sampai sekarang sarung itu pun sangat disayang oleh Kiai Marzuki. Ia menyebut sarung tersebut sebagai piagam dari Gus Dur.

Kisah lain keikhlasan sosok Gus Dur adalah ketika ditanya oleh seseorang tentang apa yang paling penting di dalam hidupnya. Gus Dur pun menjawab baginya yang terpenting nomor satu adalah bangsa, nomor dua adalah NU dan nomor 3 adalah keluarga.

Ini pun bukan omongan belaka. Prinsip ini benar-benar dibuktikan oleh Gus Dur saat suatu hari baru kembali dari Italia membawa uang yang cukup banyak. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya namun mampir mampir terlebih dahulu di Kantor NU.

Uang yang dibawa tersebut langsung habis dibagikannya kepada seluruh pegawai di kantor NU. Tidak ada yang tersisa untuk keluarga di rumah. Ketika Ibu Shinta Nuriyah (Istri Gus Dur) menanyakan uang tersebut untuk mengirim biaya putrinya yang sedang kuliah di Universitas Gajah Mada, Gus Dur pun menjawab bahwa uang tersebut sudah dibagikannya ke pegawai di Kantor NU.

Ibu Shinta pun jengkel dan menanyakan alasan kenapa uang tersebut dihabiskan di Kantor NU. Ditengah Ibu Shinta meluapkan kejengkelannya, Gus Dur malah bisa tertidur pulas, tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Ternyata prinsip “Emang Gue Pikirin, Gitu Aja Kok Repot” benar-benar tertanam dalam diri Gus Dur. Ia tetap sabar dan ikhlas walaupun dimarah dan diomong apapun oleh orang lain.

Gus Dur tidak punya hasrat agar amal baiknya dipuji oleh orang lain. Yang terpenting menurutnya Allah lah yang akan mencatatnya. Itulah mengapa saat Gus Dur wafat, orang yang semasa hidupnya mengkafir-kafirkan dan mengatakan Gus Dur sesat dan sebagainya merasa kehilangan dan semua orang pun menangis. Gus Dur memiliki magnet yang sangat kuat karena keikhlasan yang dicontohkannya semasa hidup di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar