Postingan Populer

Kamis, 11 Februari 2021

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah


Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan dengan syari’at. Gerakan-gerakan ini adalah gerakan yang di bawa oleh anak-anak muda yang baru pulang belajar dari timur tengah yang terpengaruh oleh ajaran atau doktrin Wahabiyyah. Wahabiyyah sendiri, adalah doktrin yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabiyyah ini sendiri pada akhirnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi.

Kitab ini di tulis oleh KH. Sya’roni Ahmadi, seorang ulama’ dan ahli Al-Qur’an asal Kudus. Beliau  lahir di Kudus pada 17 Agustus tahun 1931. Sejak kecil, beliau belajar pada beberapa ulama’ khos sekaliber seperti, KHR. Asnawi Kudus, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdul Mukhith, KH. Turaikhan Adjhuri, serta ulama’-ulama’ lainnya. Kyai Sya’roni sendiri sudah menghafal Al-Qur’an sejak berumur 14 tahun di bawah bimbingan KH. Arwani Amin Al-Hafidh Al-Quds, Ulama’ Qur’an asal Kudus pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus.

KH. Sya’roni Ahmadi juga aktif dalam kegiatan dakwah. Di tahun 1960-1970’an, ideologi Komunis marak berkembang di Indonesia, terutama di Kudus. Selain itu, juga muncul kelompok-kelompok yang menyebarkan faham atau ideologi salafi-wahabi yang seerti diterangkan di awal, bahwa kelompok ini menyesatkan tradisi atau amaliyah masyarakat muslim. Saking getolnya, Kyai Sya’roni bahkan sampai harus tidur di tajug yaitu, sebuah tempat di sebelah padasan (tempat wudlu) di area makam Sunan Kudus, dengan di jaga Banser-NU karena di ancam akan di bunuh oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang produktif dalam menulis beberapa karya. Seperti, Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah,At-Tasrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir, Qira’ah Al-Asyriyyah, Faidh Al-Asani Ala Hirz Al-Amani Wa Wajh At-Tahani, dll.

Kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah, memiliki isi atau pembahasan yang cukup menarik. Banyak ayat-ayat alqur’an dan hadits yang termaktub di dalam kitab ini, sehingga bukan hanya memakai argumen akal dan bisa dipastikan layak untuk di jadikan hujjah. Setidaknya, terdapat 33 bab yang ada di dalam kitab ini. Kitab ini cukup menarik karena, di awal kitab kyai Sya’roni menuturkan bahwa kitab ini ditulis oleh beliau. Kitab ini adalah hasil notulensi keterangan-keterangan para Ulama’ Aswaja saat dilangsungkan pertemuan di forum ulama’ Aswaja di Kudus saat itu yang di pimpin oleh KH. Muhammadun Pondowan seorang yang memiliki gelar singa podium aswaja  dan Syibawaih Jawa oleh Sayyid Muhammad Al-Alawi Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani. Pada waktu menghadiri diskusi, Mbah Madun datang dengan membawa banyak kitab, namun saat menukil pendapat-pendapat para ulama, beliau tidak membuka satupun kitab-kitab yang dibawanya sama sekali, sebagai upaya meyakinkan hadirin yang terdiri dari seluruh kalangan islam akan dlabit (kecerdasan) dan kompetensi beliau dalam bidang yang sedang didiskusikan.

Konon, penyusunan kitab ini juga di ilhami oleh kitab Bariqat Al-Muhammadiyyah Ala Thariqat Al-Ahmadiyyah karya KH. Muhammadun. Di harapkan oleh Kyai Sya’roni sendiri, dengan di susun-nya kitab ini, maka di harapkan masyarakat dan kaum aswaja semakin kuat dan tidak luntur aqidahnya. Sampai saat ini, kitab ini di pelajari oleh pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang tersebar di nusantara

 

Judul                           : Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah

Penyusun                     : KH. Sya’roni Ahmadi

Jumlah Halaman          : 43 Halaman

Penerbit                       : (?)

Kota                            : Kudus

Tahun                          : 1970 (?)


Bisa di download disini

Rabu, 03 Februari 2021

Nafs (Jiwa) : Aql (Akal), Qalb (Hati), dan Nafsu

 


Ahad (31/01/2021) kemarin, pada hari lahir NU, Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo Semarang, mengadakan pembukaan acara atau kegiatan “Pascalib”. Sebuah acara rutin yang di adakan pasca liburan semester ganjil yang di isi oleh kegiatan-kegiatan yang meningkatkan skill dan kecakapan para santri. Dalam acara tersebut, KH. Imam Taufiq memberikan wejangan, mengenai pentingnya belajar, mencari ilmu, dan menggunakan waktu sebaik mungkin. Apalagi di waktu/kondisi seperti ini.

Dalam rangka itu, para santri di himbau oleh beliau untuk selalu belajar dalam rangka menambah ilmu dan mengembangkan ilmu, serta selalu berserah diri dan berdzikir kepada Allah sebagai ikhtiyar batin dalam menghadapi kondisi dan situasi seperti ini.

Hal ini, sesuai dengan apa yang di paparkan oleh ulama’-ulama’ tasawuf dalam literal-literal-nya. Bahwa dalam Nafs (tubuh/jiwa), terdapat Aql (akal/pikiran), dan Qalb (hati) dan bagaimana me-management semuanya. Karena, kesemuanya itu saling terkait. Ulama’-ulama’ tasawuf menyebutnya dengan istilah tazkiyatun nufus/nafs.

Sayyid Nagib Al-Atthos menuturkan dari Imam Al-Ghazali, bahwa ada yang di sebut jiwa (Nafs). Kemudian di dalam jiwa terdapat akal (Aql) dan hati (Qalb).  Akal adalah wujud dari kesadaran manusia yang membedakannya dengan hewan. Dengan akal, manusia mampu memilih antara yang Haqq dan yang Bathil mampu membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, kita mampu untuk memahami agama dengan benar dan tsiqah.  Menggunakan akal pula, kita mampu untuk memahami situasi serta keadaan sekitar. Akal adalah poin terpenting dalam beragama secara benar dan bijak.

Lalu, Hati yang akan menentukan pilihan bagi Nafs (jiwa). Hati memiliki peranan penting bagi jiwa. Karena kadang-kadang, apa yang di katakan oleh akal benar, tapi menurut hati, itu adalah salah. Hati, adalah seonggok daging yang di sebut dalam hadist:

 

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. رواه البخاري ومسلم.

 

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)


Kemudian, ada satu hal lagi yang ada dalam Jiwa, yaitu adalah Nafsu. Nafsu adalah keinginan atau kemauan  yang ada pada diri manusia. Nafsu sendiri kadang-kadang berisi tentang keburukan, kadang-kadang juga berisi kebaikan. Di sebutkan juga oleh Syaikh Ibnu Atha’illah:

تمكن حلاوة الهوى من القلب هو الداء العضال

Artinya, “Kedudukan kenikmatan hawa nafsu di hati adalah penyakit kronis.”

Nafsu sendiri, oleh para ulama’ di klasifikasi menjadi tiga macam. Yang pertama adalah Nafsu Al-Ammarah, yaitu nafsu yang sering tidak terkendali dan mengajak untuk melakukan perbuatan yang di larang oleh Allah, yang mendorong pada syahwat serta perbuatan-perbuatan jahat lainnya.

Yang kedua adalah Nafsu Al-Lawwamah, nafsu yang masih bisa di atur oleh manusia, dengan akal-nya. Sehingga ketika seseorang mempunyai ilmu, maka dia dapat mengendalikan nafsunya. Dan yang terakhir adalah Nafsu Al-Muthma’innah, yaitu adalah nafsu yang dimiliki oleh orang-orang sholeh yang selalu mengajak kepada kebaikan.

Kesemuanya adalah kesatuan yang harus di menejemen dengan baik dan benar. Dengan akal, maka manusia mampu menalar dan membedakan antara yang baik dan benar. Dengan hati, manusia bisa mempunyai rasa peka dan bisa merasakan bahagia  serta bisa memilih dengan tepat. Dan nafsu, apabila dilatih dengan benar, maka ia akan mampu membimbing manusia mensucikan jiwanya dan membuat kita selalu dekat dengan Allah.

Oleh : Muhammadun (khadim Ihyaussunnah As-Saniyyah)



Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan ...