Ahad (31/01/2021) kemarin, pada
hari lahir NU, Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo Semarang, mengadakan
pembukaan acara atau kegiatan “Pascalib”. Sebuah acara rutin yang di adakan
pasca liburan semester ganjil yang di isi oleh kegiatan-kegiatan yang
meningkatkan skill dan kecakapan para santri. Dalam acara tersebut, KH. Imam
Taufiq memberikan wejangan, mengenai pentingnya belajar, mencari ilmu, dan
menggunakan waktu sebaik mungkin. Apalagi di waktu/kondisi seperti ini.
Dalam rangka itu, para santri di
himbau oleh beliau untuk selalu belajar dalam rangka menambah ilmu dan
mengembangkan ilmu, serta selalu berserah diri dan berdzikir kepada Allah
sebagai ikhtiyar batin dalam menghadapi kondisi dan situasi seperti ini.
Hal ini, sesuai dengan apa yang
di paparkan oleh ulama’-ulama’ tasawuf dalam literal-literal-nya. Bahwa dalam
Nafs (tubuh/jiwa), terdapat Aql (akal/pikiran), dan Qalb (hati) dan bagaimana
me-management semuanya. Karena, kesemuanya itu saling terkait. Ulama’-ulama’
tasawuf menyebutnya dengan istilah tazkiyatun nufus/nafs.
Sayyid Nagib Al-Atthos menuturkan
dari Imam Al-Ghazali, bahwa ada yang di sebut jiwa (Nafs). Kemudian di dalam
jiwa terdapat akal (Aql) dan hati (Qalb).
Akal adalah wujud dari kesadaran manusia yang membedakannya dengan
hewan. Dengan akal, manusia mampu memilih antara yang Haqq dan yang Bathil
mampu membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, kita mampu
untuk memahami agama dengan benar dan tsiqah.
Menggunakan akal pula, kita mampu untuk memahami situasi serta keadaan
sekitar. Akal adalah poin terpenting dalam beragama secara benar dan bijak.
Lalu, Hati yang akan menentukan
pilihan bagi Nafs (jiwa). Hati memiliki peranan penting bagi jiwa. Karena
kadang-kadang, apa yang di katakan oleh akal benar, tapi menurut hati, itu
adalah salah. Hati, adalah seonggok daging yang di sebut dalam hadist:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً،
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. رواه البخاري ومسلم.
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian, ada satu hal lagi yang
ada dalam Jiwa, yaitu adalah Nafsu. Nafsu adalah keinginan atau kemauan yang ada pada diri manusia. Nafsu sendiri
kadang-kadang berisi tentang keburukan, kadang-kadang juga berisi kebaikan. Di
sebutkan juga oleh Syaikh Ibnu Atha’illah:
تمكن حلاوة الهوى من القلب هو الداء العضال
Artinya, “Kedudukan kenikmatan
hawa nafsu di hati adalah penyakit kronis.”
Nafsu sendiri, oleh para ulama’
di klasifikasi menjadi tiga macam. Yang pertama adalah Nafsu Al-Ammarah, yaitu
nafsu yang sering tidak terkendali dan mengajak untuk melakukan perbuatan yang
di larang oleh Allah, yang mendorong pada syahwat serta perbuatan-perbuatan
jahat lainnya.
Yang kedua adalah Nafsu
Al-Lawwamah, nafsu yang masih bisa di atur oleh manusia, dengan akal-nya.
Sehingga ketika seseorang mempunyai ilmu, maka dia dapat mengendalikan
nafsunya. Dan yang terakhir adalah Nafsu Al-Muthma’innah, yaitu adalah nafsu
yang dimiliki oleh orang-orang sholeh yang selalu mengajak kepada kebaikan.
Kesemuanya adalah kesatuan yang
harus di menejemen dengan baik dan benar. Dengan akal, maka manusia mampu
menalar dan membedakan antara yang baik dan benar. Dengan hati, manusia bisa
mempunyai rasa peka dan bisa merasakan bahagia
serta bisa memilih dengan tepat. Dan nafsu, apabila dilatih dengan
benar, maka ia akan mampu membimbing manusia mensucikan jiwanya dan membuat
kita selalu dekat dengan Allah.
Oleh : Muhammadun (khadim
Ihyaussunnah As-Saniyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar