Postingan Populer

Selasa, 16 Juni 2020

Ta’lim Al-Muta’allim: Biang Kerok Kejumudan Pesantren? (1)



Kalangan pesantren pastinya mengenal sebuah kitab adab yang bernama Ta’lim Al-Muta’allim. Kitab karangan Syaikh Al-Zarnuji ini mempunyai segudang cerita menarik, serta ajaran-ajaran mengenai etika maupun akhlak bagi santri, atau orang yang sedang mencari ilmu. Pengajaran adab dalam kitab ini, sangat mengena dan seperti menarasikan karakteristik masyarakat Nusantara, khususnya Jawa kuno. Oleh karena itu, kitab ini sangat populer dikalangan masyarakat muslim Nusantara sebagai pengajaran etika untuk di ajarkan kepada para santri.

Kitab ini di tulis oleh syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Zarnuji, beliau adalah seorang ulama’ kelahiran Zarnuj, Turki. belum ditemukan data konkret mengenai profil beliau.  Tidak ada yang mengetahui kapan kelahiran maupun wafatnya beliau, beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa beliau wafat pada 591 H. ada pula yang mengatakan, bahwa beliau wafat pada tahun 640 H.

Penulisan kitab Ta’lim Al-Muta’allim di sebabkan kegundahan Mushonnif, saat melihat banyaknya para santri saat itu, gagal atau sulit memperoleh apa yang mereka cari, seperti yang tertulis dalam mukaddimahnya. Banyak yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, tetapi tidak memperolehnya. Ada juga yang berhasil, namun tidak memperoleh manfaatnya, seperti kemampuan untuk mengamalkan dan mengajarkannya.

Pada zaman Mushonnif, Ilmu berkembang pesat, seiring meluasnya wilayah kekhalifahan kaum muslimin. Ilmu menjadi duatu faktor tinggi, dan majunya umat muslim saat itu. Energi Iqro’ dari Al-Qur’an yang menjadi perlambang ilmu pengetahuan semakin kuat.

Awalnya pada masa khulafa’ arrasyidin,. Sepeninggal Rosulullah, para khalifah mengirimkan para sahabat ke seluruh penjuru, untuk memberikan pengajaran tentang Islam, dan berbagai macam pengetahuan lainnya. Kemudian setelah masa kekhalifahan Umawiyyah, ibukota di pindahkan ke Damaskus, Syiria yang penuh dengan peninggalan kebudayaan Yunani, yang terkenal maju. Selruh pengetahuan Yunani, kemudian di terjemahkan pertama kali oleh khalifah Khalid bin Walid kedalam bahasa Arab.

Keilmuan yang semakin maju tersebut berbarengan dengan runtuhnya kekhalifahan Umawiyyah, yang kemudian di gantikan oleh masa kekhalifahan Abbasiyyah. Tidak berhenti sampai di situ, transisi kekuasaan tidak meruntuhkan geliat intelektual saat itu. Malahan, khalifah Al-Manshur memboyong seluruh ulama’, ahli ilmu, dan para penerjemah ke Baghdad, untung merangsang pengembangan pengetahuan. Pada masa ini, di sebut The Golden Age dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak sekali Halaqoh-halaqoh intelektual yang di selenggarakan di banyak tempat bahkan di sudut-sudut tempat.

Kemudian oleh kyai Mushonnif, Syekh Az-Zarnuji dijawab, bahwa hal itu di karenakan para thullab telah melenceng dari jalurnya. Mereka tidak mengetahui syarat-syarat mencari ilmu, sehingga akibatnya mereka gagal dalam mencari ilmu. Dalam kitab tersebut, Syekh Az-Zarnuji memaparkan dan mengarahkan bagaimana mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bagaimana adab dalam memilih guru, teman dan juga ilmu dengan waktu yang ideal. Kitab ini merupakan karya penelitian atas perilaku ulama-ulama sebelumnya yang telah di anggap berhasil. Maka, kita pun di suguhkan kisah-kisah cerita para ahli ilmu, serta hadist-hadist nabi yang berkaitan dengan ilmu.

Pada hakikatnya, semua yang di tulis oleh Mushonnif adalah hikmah konsep dari pembelajaran para Ulama’-ulama’ dan didukung pula oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist. Mushonnif juga menggunakan fashl dalam metode penulisannya, beliau menulis tiga belas fashl;
1. Menerangkan tentang mengenai hakikat ilmu dan Fiqh sebagai sumber dasar mencari ilmu.
2. Menerangkan tentang niat dalam mencari ilmu.
3. Menerangkan tentang Memilih ilmu yang di pelajari, dan memilih guru serta teman yang teguh  dalam mencari ilmu.
4. Menerangkan tentang Memulyakan ilmu dan ahli ilmu serta keluarganya.
5. Menerangkan tentang Kesungguhan mencari ilmu, dan mempunyai cita-cita yang tinggi.
6. Menerangkan tentang Permulaan belajar, kadarnya, dan urutan ilmu yang di pelajari.
7. Menerangkan tentang Tawakkal, pasrah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
8. Menerangkan tentang Waktu belajar.
9. Menerangkan tentang Tentang kebaikan.
10. Menerangkan tentang Tentang cara mencari faedah dalam ilmu.
11. Menerangkan tentang Larangan menjauhi maksiyat.
12. Menerangkan tentang Etika menghafal.
13. Menerangkan tentang Hal-hal yang memudahkan memperoleh rizki, umur, dan hal-hal yang menghalanginya.

Kitab ini, oleh kalangan di luar pesantren, di anggap sebagai akar penyebab kemunduran tradisi intelektualisme pesantren. karena mereka menganggap, bahwa aktivitas intelektualisme, diskusi, halaqoh-halaqoh yang membuka lebar kran pendapat atau adu argumentasi sama sekali tidak di temukan. Sementara yang sering di jumpai adalah sistem pendidikan konvesional yang di kenal dengan sistem ngaji bandongan. Kyai membacakan materi dari kitabnya, sedangkan santri mendengarkan dengan patuh, menundukkan hati, mata dan pikirannya. Santri sendiko dawuh dengan apa yang di tuturkan kyai sebagai mahaguru.

Bersambung...


Oleh: Muhammadun (khadim Ihyaussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan ...