Postingan Populer

Senin, 25 Mei 2020

Abu Al-Hasan Al-Asy'ari (Sejarah, Pemikiran dan Doktrin)



Oleh: Ulis Syifa' Muhammadun


Salah satu isu dalam diskursus pemikiran Islam adalah menentukan relasi yang ideal antara wahyu dan akal dan bagaimana memposisikan wahyu dan akal dalam memahami dan mempraktekkan ajaran tuhan dalam kehidupan. Secara Normatif, Wahyu dan akal dua  potensi yang telah mendapat legistimasi dari tuhan agar dapat di kaji dan di gunakan untuk menambah keyakinan, pengetahuan, dan pemikiran manusia.

Munculnya sejarah dalam Islam telah memberikan sebuah informasi bahwa hadirnya sebuah pemahaman aqidah ahlussunnah wal jama’ah  dengan berbagai problematiknya telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kalangan umat Islam, sebagai pemadu antara wahyu dan akal dan memberi porsi yang baru sebagai reaksi atas Muktazilah yang memenangkan ego atas rasio akal.

Istilah ahlussunnah wal jama’ah telah ada sejak masa Nabi Muhammad , namun istilah ini tidak ada yang memakai untuk sebutan sebuah nama kelompok atau firqoh (golongan), karena pada masa Nabi disebut sebagai masa wahyu yang mana belum ada aliran dalam Islam.

Di saat terjadi kekisruhan politik dalam islam dan munculnya sekte-sekte maupun faksi-faksi dalam tubuh Islam. Muncullah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari membawa sebuah penawaran baru yang mengatas namakan manhaj salaf yang sesuai dengan Ajaran rasulullah dan sahabatnya, serta salaf ash-shalih. Yang ajarannya disebut sebagai representasi Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah setelah wafatnya, Al-Auza’I, Sufyan Ats-Tsaury, At-Thahawy,dll. Sesuai dengan ucapan Sayyid Murtadlo Az-Zabidi dalam kitabnya, Ittihaf Sadatul Muttaqin bahwa, yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penganut faham Abu  Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi

 Madzhab Asy’ari adalah Madzhab teologi yang di ikuti oleh mayoritas masyarakat muslim di dunia. Di Indonesia sendiri, pemikiran Asy’ariyyah di bawa oleh Muballigh yang berasal dari Timur Tengah dan Persia. Asy’ariyyah disematkan pada pengikut Pemahaman ala Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Nama Asli beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Barda bin Abi Musa Al-Asy’ari,  keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari,  salah seorang perantara dalam sengketa antara, Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, Al-Asy'ari lahir di Basrah, tetapi sebagian besar hidupnya di Baghdad, Ayah  al-Asy`ari Ismail ibn Ishaq adalah seorang tokoh hadits. Imam Abu Al-Hasan dahulunya menganut faham Muktazilah, bahkan tak tanggung-tanggung, beliau menganutnya selama 40 tahun. Selain itu beliau juga menulis banyak sekali kitab tentang faham ini yang konon, dalam kitab Fath Al-Majid Syech Nawawi mengatakan, bahwa kitab yang beliau tulis tentang faham Muktazily ini lebih banyak ketimbang saat beliau bertransisi ke pemikiran manhaj salaf. Hal ini tidak mengherankan. Sebab, beliau sudah menekuni teologi Muktazilah sejak kecil, sejak Ibu beliau menikah dengan  Abu Ali Al-Jubba’I, seorang tokoh sentral ulama’ Muktazilah.

 Kisah pertaubatan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari termaktub dalam beberapa kitab- kitab, salah satunya dalam kitab Tabyin Kadzib Al-Muftari. Ketika Abu Ali Al-Jubba’I sedang berkhutbah (mengajar ?) Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bertanya tentang Kewajiban Allah menciptakan Fi’lu Ashshalih atau perbuatan baik.

 

Imam Asy’ari       : ” Bagaimana pendapatmu tentang matinya orang mukmin, kafir, dan anak kecil (Bayi?)”.

 al-Jubba’I            : “ Orang Mukmin itu akan di masukkan kedalam surga, Orang kafir akan dimasukkan  kedalam neraka”
Imam Asy’ari       :“ Bagaimana dengan anak kecil itu?”,
Al-Jubba’i.           :“anak kecil itu tidak akan masuk neraka” (dalam hal ini Imam Ad-Dasuki   menafsirkannya dengan kaidah dalam madzhab Muktazilah, Manzilah Bainal  Manzilatain)
Imam Asy’ari       : “Apakah ia Akan mendapatkan balasan yang tinggi seperti orang mukmin itu? (surga)”
Al-Jubba’I            : “tidak,karena ia tidak pernah berbuat baik”
Imam Asy’ari       ; “kalau demikian, bagaimana jika anak kecil itu perotes kepada tuhan, “ andaikan  aku engkau beri umur yang lebih panjang, maka akupun akan berbuat baik  sepertinya””
Al-Jubba’I            ; “Allah akan menjawab,” aku tahu jika aku memberimu waktu yang lebih panjang, engkau akan berbuat kekafiran/kejahatan, makadari itu, Allah memberikanmu umur yang pendek agar engkau selamat dari itu semua
Imam Asy’ari        :“ka;au begitu, bagaimana jika orang kafir itu akan berkata,” lalu kenapa tidak kau wafatkan aku ketika aku masih kecil juga, maka aku akan terhindar dari kekafiran  atau kejahatan?”

Setelah itu, Al-Jubba’I tidak mampu menjawab dan terdiam. Imam Asy’ary selanjutnya melakukan shalat dua rokaat dan berdo’a kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus, sampai diceritakan bahwa beliau tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad , dan beliau bersabda,” Ikutilah sunnahku”. Beliaupun terbangun dan mendapatkan petunjuk. Dan beliau Uzlah selama 15 hari.

Setelah itu beliapun datang ke masjid Bashrah dan setelah shalat Jum’at beliau berkhutbah di atas mimbar, “Wahai para manusia, aku telah menghilang diantara kalian (uzlah) selama beberapa hari (15 hari), sebab aku telah membandingkan dalil yang sepadan dari manhaj kita (Muktazilah) namun belum juga menguatkan kebenaran dari ke bathilan, begitupun sebaliknya, maka akupun meminta petunjuk dari Allah, kemudian dia, memberiku petunjuk, dan aku telah mencatatnya dalam kitab-kitab taklifanku ini. Aku telah melepas apa yang dulu aku yakini sebagaimana aku melepas baju ini”

Dapat kita ambil dari kisah diatas, bahwa kegagalan Al-Jubba’I menjawab pertanyaan Imam Asy’ari karena dia hanya berpatokan pada rasionalitas akal saja karena inti dari ajaran Mu’tazilah adalah harus bersumber dari sesuatu yang bersifat Qath’I, dan harus rasional (masuk akal)

Sebelum munculnya aliran-aliran dalam Islam seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qodariyah dan lainnya, belum ada aliran yang menamakan kelompoknya sebagai ahlussunnah wal jama’ah, sekalipun ajaran ahlusunnah  wal jama’ah yang mereka jalankan, sebab umat Islam seluruhnya mengikuti ajaran Nabi , secara utuh, dan konsisten tanpa ada yang membuat-buat aliran tertentu dalam Islam.

Jika memang ada aliran di masa itu yang mengaku kelompoknya  sebagai ahlussunnah wal jama’ah itu mustahil, karena  paham-paham dan ajaran yang mereka jalankan seluruhnya mengikuti ajaran Nabi , secara keseluruhan tanpa ada yang di tambahkan.

Setelah munculnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk salah satunya ilmu kalam, maka setelah itu mulailah  bermunculan aliran-aliran dalam Islam, termasuk aliran Mu’tazilah yang pertama kali memainkan institusi akal dalam wacana keagamaan yang berpaham Qodariyah.  Kelompok Mu’tazilah ini terkenal sangat meragukan keabsahan dalam kandungan al-Qur’an dan hadits mereka berusaha menafsirkan sesuai dengan disiplin ilmu filsafat yang bersumber dari filsafat akal sesuai dengan pemahaman mereka sendiri tanpa bersumber kepada teks-teks syara’ yang ada. Bila al-Qur’an bertentang dengan akal, maka al-Qur’an yang disalahkan  dan keputusan akal yang diambil, karena akal kebenarannya bersifat mutlaq.

Paham Mu’tazilah telah tersebar luas dan memiliki kekuasaan pada masa-masa Khilafah Ma’mun dan al Mu’tashim bin harun Rasyid. Sampai sekarang paham  ini masih menyusup ke dalam masyarakat umat Islam di  berbagai dunia modern terutama di barat bahkan di  indonesia. Mu’tazilah mendapatkan sebuah apresiasi yang tinggi dari pemerintahan pada masa itu, namun mayoritas para ulama menyesalkan karena telah memberikan sebuah kebebasan dalam berpikir secara mutlak pada akal dalam memahami permasalahan-permasalahan dalam Islam. Sehingga menimbulkan satu kondisis yang tidak sesuai dengan konsep ilahiyyah.  

 Para ulama dan mayoritas umat Islam juga melihat adanya  sebuah pola pikir perkembangan filsafat yang semakin mengacaukan ajaran yang di bawa oleh Nabi , mereka berani mengacak-ngacak isi dalam kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahan akal mereka yang dimainkan oleh kalangan filsafat, rasional, dan  filosofis.  Akhir dari semua itu, memunculkan adanya kekecewaan yang amat mendalam bagi kalangan umat Islam pada masa itu, sehingga mayoritas umat Islam menaruh sebuah harapan yang cukup bagi kalangan  Hanabilah yang mengembalikan dan memperbaki trend Mu’tazilah yang sudah terlalu rusak dan jauh memberikan ruang dalam pola menempatkan kedudukan akal sehingga mengembalikan kepada posisi akal yang sebenarnya. Di antara berbagai sikap subyektif dalam menyangkal pemahaman Mu’tazilah itu, muncul Imam Abul Hasan ‘Ali al-Asy’ari sebagai tokoh utama yang dengan arif, cermat, mendalam, serta cemerlang, dapat merumuskan dan menjelaskan hakikat al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan aqidah Islam yang ketat dengan bingkai syariat namun tetap mengedepankan strategi yang logis dan realitas.  

Disiplin ilmu dalam  pandangan da’wah aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dan nama tersebut berbeda antara   Ahlussunnah wal jama’ah  dengan pemahaman-pemahan yang mengikuti golongan yang tidak berpaham lurus. Ketika Rasulullah masih hidup, beliau pernah memprediksi bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73  golongan. Yang menarik, semua golongan tersebut  tidak ada yang masuk dalam surga, semuanya  berada dalam neraka, kecuali hanya satu yaitu (yang oleh sebagian besar umat Islam dikonsepsikan sebagai) Ahlusunnah wa al-Jama‘ah (selanjutnya disebut Aswaja).

Kemudian Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mualai memformulasikan gagasan teologinya agar lebih metodeologis dan sistematis. Karena pada waktu itu belum ada aliran teologi yang terstruktur dan menjadi pegangan masyarakat. Muktazilah yang awalnya menzadi madzhab resmi ideologi pemerintahan saaat itupun hanya mampu menjamah dan dicerna kalangan yang berpendidikan saja dan sangat sulit difahami oleh kalangan awam, karena keterbatasan kemampuan berfikir yang filosofis

Abu Hasan Al-Asy’ari akhirnya mengambil jalan tengah antara gagasan pemikiran yang tekstual dan kontekstual yang menggunakan teks nash   dan akal, antara manhaj Muktazilah dan Manhaj Salaf. Ia menengahi perseteruan teologi-teologi saat itu, antara Muktazilah, Jabbariyyah, Qadariyyah. Ia berusaha membatasi kekuasaan dan kadar akal, kebebasan bertindak serta Qadla’ dan Qadar Allah.

Menurut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari iman yang mantab haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti orang lumpuh, sedangkan ilmu tanpa iman layaknya orang buta. Selain itu dalil-dalil dari teks nash hanya akan dapat di fahami setelah kita menggunakan pengetahuan akal. Dan seharusnya Aqal dan Nash itu tidak boleh di pertentangkan, justru harus dipadukan dengan benar

Setelah al-Asy`ari merumuskan pokok-pokok pikirannya, ia tidak segera disambut oleh khalayak ramai. Ia masih tetap menjadi sosok yang mencurigakan. Namun berkat keteguhannya, akhirnya ajarannya menjadi sebuah teologi baru. Aliran ini segera berkembang meluas. Setidaknya ada dua alasan pokok mengapa aliran ini cepat berkembang. Pertama, alasan yang sifatnya substansial yaitu lebih dikarenakan formulasi teologisnya yang simpel dan tidak terlalu filosofis di samping juga berusaha meletakkan Tuhan sebagai yang serba segalanya. Simplisitas ini, misalnya, terdapat pada formulasi “dengan tanpa bagaimana” yaitu “dengan tanpa mempunyai bentuk dan batasan. Kedua, alasan yang sifatnya politis. Sejarah telah menunjukkan bahwa ajaran al-Asy`ari mampu memikat rakyat banyak berkat campur tangan penguasa. Keterlibatan al-Qādir lewat  Risālah  Qādiriyyah-nya dan Nizhām al-Muluk dengan Madrasah Nizhāmiyyahnya menjadikan ajaran al-Asy`arī semakin efisien.

Dr. Nashihun Amin dalam bukunya, “Paradigma Teologi Politik Sunni: Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy`ari Sebagai Perintis Pemikiran Politik Islam” mengatakan bahwa pemikiran teologi al-Asy`arī bisa diklasikasikan ke dalam tiga kelompok besar yaitu  pemikiran yang berhubungan langsung dengan politik; pemikiran yang tidak berhubungan secara jelas dengan politik akan tetapi bisa ditarik benang merahnya dengan afiliasi politik tertentu dan pemikiran yang bersifat teologi murni.

Pembicaraan mengenai kaitan antara pemikiran teologi dan kepentingan politik meniscayakan adanya penelusuran mengenai motif yang terkandung di dalamnya. Apa sesungguhnya motif al-Asy`ari  dalam merumuskan gagasan teologisnya. Adakah penulisan pemikiran teologis al-Asy`ari dimaksudkan untuk kepentingan politik pribadi dengan cara menjustifikasi kekuasaan yang berlangsung waktu itu agar dekat dengan kekuasaan atau bahkan mendapatkan kedudukan?. Ataukah agenda besar yang diusung sebenarnya bukan bersifat individual melainkan lebih bersifat sosial-ideologis? Barangkali inilah pertanyaan yang amat mendasar dari fenomena berubahnya pemikiran al-Asy`ari dalam waktu yang relatif singkat, sehingga muncul perubahan pemikiran yang amat tajam sesudah ia berada di kelompok ahli al-hadits, padahal ia sudah terdidik dalam waktu yang amat panjang di Mu`tazilah. Pemikiran teologisnya yang semula sangat memberikan peluang bagi kemerdekaan dan kemampuan manusia berubah menjadi lebih moderat dengan menyeimbangkan antara kebebasan dan keterbelengguan manusia.

Dialektika antara politik dan teologi dalam pemikiran al-Asy`ari mempunyai singgungan yang amat erat. Namun dari berbagai ajaran pokok yang tertuang dalam karyanya itu, tentu saja tidak semuanya didorong dan mempunyai implikasi terhadap perpolitikan. Ajaran-ajaran yang tidak berhubungan dengan aspek praktis kehidupan kemanusiaan tidak serta merta mempunyai implikasi politik, sekalipun bisa dilihat benang merahnya.  Namun demikian, bukan berarti pokok-pokok pikiran tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat legitimasi. Hanya saja pokok-pokok pikiran seperti itu penerapannya hanya bisa dipakai dan sangat terbatas pada kekuasaan yang secara formal menggunakan Islam sebagai dasar, tidak bisa digunakan untuk negara yang tidak menggunakan Islam sebagai dasar sekalipun mayoritas penduduknya Muslim. Sedangkan pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan pembentukan karakter manusia tentu saja mempunyai hubungan dengan politik secara serius. Dikatakan serius mengingat pokok-pokok pikiran tersebut bisa menjadi faktor penggerak yang mewarnai dalam kehidupan manusia. 

Konsep-konsep tersebut antara lain tentang: 

1.      kekuasaan dan keadilan Allah.

Bagi al-Asy`ari, Allah adalah zat yang Mahakuasa dan Mahaadil. Tentu demikian halnya bagi yang lain. Akan tetapi pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan ini ternyata antara satu pihak dengan pihak yang lain tidak sama. Adil, dalam pandangan Imam Asy’ari, adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (wadh`u al-syai’ fi mahallihi). Seseorang yang mempunyai kekuasaan berarti seseorang itu bisa melakukan apa saja terhadap apa yang dimiliki. Karena Allah adalah zat yang Mahakuasa berarti Dia bisa berbuat apa saja terhadap apa yang dikuasai-Nya. Jika Allah diakui zat yang Mahakuasa, maka apapun yang dilakukan Allah adalah sebuah bentuk keadilan. Tidak akan pernah ketidakadilan itu terdapat pada diri-Nya. Imam Asy`ari menggambarkan kekuasaan Allah seperti orang yang memiliki kekuasaan atas suatu barang yang dimilikinya dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya sendiri

2.      Perbuatan Manusia.

Kekuasaan dan keadilan Allah sebagaimana dicanangkan oleh Imam Asy`ari di atas mengakibatkan posisi manusia menjadi sangat lemah. Kelemahan ini menjadi semakin nyata karena diperkuat dengan keyakinannya bahwa seluruh apa yang dilakukan manusia sesungguhnya telah ditentukan oleh Allah. Dalam kaitan dengan ini, Imam Asy`ari  mengedepankan konsep qadha-qadar. Namun demikian, ia berusaha memberikan jalan keluar melalui konsep kasb.  Menurut Imam Asy`ari manusia adalah lemah. Dalam kelemahannya itu manusia bergantung pada kehendak dan kekuasaan Allah. Apa yang dilakukan manusia sesungguhnya adalah ketentuan dan kehendak Allah. Namun demikian, Imam Asy`ari tetap memberikan porsi keterlibatan manusia dalam perbuatannya. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kehendak mutlak Tuhan itulah al-Asy`ari memakai kata kasb.

3.      kemampuan akal manusia.

Keberadaan akal manusia sangat tergantung kepada pemahaman mengenai kekuasan dan keadilan Allah serta perbuatan manusia. Membaca dua penjelasan mengenai dua hal tersebut, bisa diketahui bahwa keberadaan manusia demikian lemah di hadapan Tuhan.

4.      kebaikan dan keburukan.

Menurut al-Asy`ari yang disebut kebaikan adalah seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah swt. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah swt. Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt. 

5.      bi la kaifa wa la tasybih.

Selain melahirkan konsep keadilan yang tidak memberikan ruang kritisisme bagi manusia, pandangan al-Asy`ari mengenai kekuasaan Allah juga melahirkan konsep kesucian yang tidak mungkin  tertempeli sifat-sifat kemanusiaan. Hanya saja al-Asy`ari kelihatan masih bersikap ambivalen. Ia tidak berani keluar sepenuhnya dari teks yang memang secara tegas menyatakan bahwa ada penggambaran manusiawi. Demikian juga, tidak ada keberanian untuk memahami penggambaran manusiawi itu apa adanya.

Konsep ini merupakan konsep yang dikembangkan dari adanya keyakinan bahwa Allah adalah zat yang berbeda dengan segala sesuatu yang ada (laisa kamitslihi syai’un). Karena keterbatasan penalaran manusia, maka manusia pasti tidak akan bisa menjelaskan bagai  mana dan di mana letak perbedaan Allah itu dengan segala selain-Nya. Manusia adalah entitas relatif dan terbatas, sedangkan Allah adalah zat yang mutlak dan tak terbatas. Apapun pemikiran yang dilakukan oleh manusia, termasuk mengenai Tuhannya, selalu berada dalam keterbatasan. Oleh karena itu, pemikiran manusia tidak akan bisa menyentuh kemutlakan dan ketakterbatasan Tuhan.

Selain beberapa pokok pikiran al-Asy`ari yang berhubungan langsung dengan politik, juga ada beberapa pokok pikirannya yang tidak secara jelas menampakkan hubungan dengan politik, tetapi bisa dilihat benang merah keterhubungan keduanya sebagai bentuk afiliasi politik pada masanya. Berbeda dengan pemikiran pertama yang dapat memberikan legitimasi bagi penguasa, keterhubungan jenis pemikiran kedua lebih banyak ditentukan oleh realitas politik bahwa pada waktu itu penguasa mengembangkan pemikiran teologis yang sama sehingga ada titik temu di antara keduanya.

Adapun beberapa pokok pikiran tersebut adala:

1.      Kedudukan al-Qur’an

Imam Asy`ari berpendapat bahwa al-Quran adalah  kalamullah, tidak berubah, tidak diciptakan, bukan makhluk dan tidak baru. Adapun huruf, bentuk, warna, dan suara adalah diciptakan. Al-Quran  qadim sebagaimana qadimnya Zat Yang Maha Tinggi. Ia tidak tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena kata-kata dan huruf itu baru sehingga tidak melekat pada yang qadim dan wajib al-wujud.

2.      Sifat Allah

Imam Asy’ari juga meyakini bahwa Allah itu bersifat dengan sifat-sifat yang sempurna, dan mustahil bersifat sebaliknya. Konsep sifat wajib, mustahil, dan jaiz berangkat dari kenyataan, bahwa untuk membuktikan eksistensi mayoritas sifat tersebut meskipun terdapat dalil naqli berupa Al-Qur’an dan hadits yang merupakan sumber akidah, tetap membutuhkan penalaran akal sehat, yang dalam konteks ini dikenal hukum 'aqli yang ada tiga, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz 'aqli.  Terlebih bagi orang yang sama sekali belum percaya terhadap eksistensi Allah sebagai Tuhan maupun eksistensi para Rasul.

3.      Hudustnya alam

Kemudian Alam semesta dan apapun yang ada di dalamnya menurut imam Asy’ari adalah sesuatu yang baru (Hudust) Tidak ada yang  qadīm  selain Tuhan. Ia menolak para filosof yang berpendapat bahwa alam adalah qadīm. Baginya, alam diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (al-ijād min al-`adam). Adanya kenyataan bahwa terjadi banyak perbedaan antara berbagai benda dan bahwa benda–benda tersebut selalu mengalami perubahan, menurut imam Asy`ari, merupakan suatu bukti kebaruan alam. Segala sesuatu yang mengalami perubahan adalah baru.

4.      Esensi iman

Iman, menurut imam Asy`ari adalah pembenaraan oleh hati karena tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Sedangkan batasan

iman adalah: “at Tashdiqu bil qalbi (Iman adalah membenarkan di dalam hati), qaulun billisan (diucapkan dengan lisan), dan amalun bil arkan wal jawarih (dibuktikan dengan amal anggota tubuh).  Orang yang hatinya meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad dan setia mengerjakan amal saleh, disebut mukmin sempurna.

5.      Melihat Allah di Akhirat

Imam Asy’ari berpendapat bahwa manusia mampu untuk ru’yatu Allah melihat Allah ketika di akhirat nanti Melihat Allah adalah nikmat yang paling besar di surga yang kelak dialami oleh manusia  (laisa na`im fi al-jannah afdhal min ru’yatillah) Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-laqqoni dalam nadzam Jauharatu Al-Tauhid : “Termasuk jaiz aqli adalah melihat Allah melalui mata kepala bagi orang mukmin, akan tetapi hal itu tanpa kaifiyah dan tanpa batas. Hal ini (melihat Allah di dunia) berlaku bagi orang terpilih (Rasulullah) 

6.      Dosa besar

Orang mukmin yang melakukan dosa besar, dalam pandangan al-Asy`arī, tetap dianggap mukmin.Tidak boleh dianggap kafir meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan berzina, Nabi akan memberi syafa’at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa besar selama ia masih beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Ia hanya di golongkan sebagai orang durhaka. Adapun mengenai dosa besarnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.

Dari pemaparan di atas, syekh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari melakukan sebuah perlawanana terhadap sekte Mu’tazilah. Perlawanan yang dilakukan dengan cara memperkuat keyakinan dalam da’wah aqidah untuk menghindari kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini beliau lakukan atas dasar amar ma’ruf dan nahi mungkar  untuk memurnikan agama Allah  SWT. Sehingga kemurnian agama Islam tetap terjaga.

Ahli sunnah waljama’ah adalah sebuah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, teologi ini sering dicap dengan sebutan “Teologi moderat”. Rumusan teologi al-Asy’ari menggunakan argument tekstual berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli hadits yang ia dukung.

Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam  teologi ahli sunnah waljamaah’ tergolong unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah, sehingga ia menggunakan argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argument logika.

Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan kontemporer bersifat terbuka, realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan akomodatif serta responsif) terhadap kemajuan keilmuan, oleh yang demikian menyebabkan aliran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah tetap eksis dan relevan untuk diterapkan dan dipertahankan dalam kehidupan kontemporer.

 

 

Daftar Pustaka

 

·        Amin, Dr. Nashihun. Paradigma Teologi politik Sunni (Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Sebagai Pemikir Politik Islam). Semarang: UIN Walisongo Semarang,2014

·        Amin, Dr. Nashihun. Sejarah Perkembangan pemikiran Islam.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986

·        Al-Khazraji, Hammad bin Muhammad Al-Anshari. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Madinah:Maktabah Syamilah/ (Universitas Islam Madinah). 1974

·        Bin Asakir, Abu Al-Qasim Ali bin Husain . Tabyinu Kadzib Al-Muftari fi Ma Nushiba ila Al-Imam Al-Asy’ari, Beirut: Dar Al-Kutub Arabi, 1984
Ibn Mubarok, Husain, At-Tajrid Ash-Sharikh, Maktabah Haramain, 2012

·        Ad-Dasuki, Muhammad, Hasyiyyah Ad-Dasuki ‘Ala Ummu Al-Barahin, Surabaya:Maktabah Dar- Al-Ilmi, 2014

Jumat, 22 Mei 2020

Kiai Muhammad bin Yasin Mbareng Kudus Melihat Ka'bah dari Masjid Baitussalam





Kiai sungguhan itu ya Kiai Muhammad," kira-kira demikian ujar Mbah Abdullah Salam Kajen kepada seorang santri mbareng saat sowan beliau. Kiai Muhammad lahir sekitar tahun 1924 dari pasangan KH.Yasin dan Ny.Muthi'ah. Adalah sosok yang alim dan teguh dalam memegang prinsip. Seorang zahid dan wira'i.

Pendapat-Pendapat keagamaan (fiqhiyyah ubudiyyah) beliau sangat luas sekali. Hanya saja jarang yang mengetahui, karena dalam mendidik santri dan masyarakat beliau lebih memilih sikap hati-hati dengan memberlakukan qaul mu'tamad. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu dan kepada orang tertentu beliau memberikan fatwa dengan hukum yang sangat ringan. Misalnya, beliau mengatakan, rukun qauli (bacaan wajib dalam shalat) sudah cukup/sah hanya dengan membaca ayat al-qur'an yang mudah: Faqra' ma tayassara minal qur'an.

Salah satu karamah beliau adalah ketika mengimami shalat di masjid Baitussalam beliau dibuka hijabnya sehingga dapat melihat Ka'bah. Keterangan ini penulis dapat dari kiai Muhajir Madad Salim, Mutih, Demak. Kisah ini saya konfirmasikan kepada putra beliau, kiai Yasin Muhammad, dan beliau membenarkan. Saat itu beliau berjalan bersama ayahandanya, kiai Muhammad dan KH.Sanusi. Tiba-tiba kiai Muhammad bilang kepada adiknya, "aku tadi saat shalat berada di Babussalam."

Namun kiai Yasin menjelaskan, "Kisah semacam ini adalah pengalaman ruhani. Kalau diceritakan tidak masuk akal." pungkasnya.

Sumber: Atabags (Gus Mujab)

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan ...