Munculnya sejarah dalam Islam telah memberikan sebuah informasi bahwa hadirnya sebuah pemahaman aqidah ahlussunnah wal jama’ah dengan berbagai problematiknya telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kalangan umat Islam, sebagai pemadu antara wahyu dan akal dan memberi porsi yang baru sebagai reaksi atas Muktazilah yang memenangkan ego atas rasio akal.
Istilah ahlussunnah wal jama’ah
telah ada sejak masa Nabi Muhammad ﷺ,
namun istilah ini tidak ada yang memakai untuk sebutan sebuah nama kelompok
atau firqoh (golongan), karena pada masa Nabi ﷺ
disebut sebagai masa wahyu yang mana belum ada aliran dalam Islam.
Di saat terjadi kekisruhan politik dalam islam dan munculnya sekte-sekte maupun faksi-faksi dalam tubuh Islam. Muncullah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari membawa sebuah penawaran baru yang mengatas namakan manhaj salaf yang sesuai dengan Ajaran rasulullah dan sahabatnya, serta salaf ash-shalih. Yang ajarannya disebut sebagai representasi Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah setelah wafatnya, Al-Auza’I, Sufyan Ats-Tsaury, At-Thahawy,dll. Sesuai dengan ucapan Sayyid Murtadlo Az-Zabidi dalam kitabnya, Ittihaf Sadatul Muttaqin bahwa, yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penganut faham Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi
Nama Asli beliau adalah Ali bin
Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Barda bin
Abi Musa Al-Asy’ari, keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah
seorang perantara dalam sengketa antara, Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah.
Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, Al-Asy'ari
lahir di Basrah, tetapi sebagian besar hidupnya di Baghdad, Ayah
al-Asy`ari Ismail ibn Ishaq adalah seorang tokoh hadits. Imam Abu Al-Hasan
dahulunya menganut faham Muktazilah, bahkan tak tanggung-tanggung, beliau
menganutnya selama 40 tahun. Selain itu beliau juga menulis banyak sekali kitab
tentang faham ini yang konon, dalam kitab Fath Al-Majid Syech Nawawi
mengatakan, bahwa kitab yang beliau tulis tentang faham Muktazily ini lebih
banyak ketimbang saat beliau bertransisi ke pemikiran manhaj salaf. Hal ini
tidak mengherankan. Sebab, beliau sudah menekuni teologi Muktazilah sejak
kecil, sejak Ibu beliau menikah dengan Abu Ali Al-Jubba’I, seorang tokoh
sentral ulama’ Muktazilah.
Imam Asy’ari
: ” Bagaimana pendapatmu tentang matinya orang mukmin, kafir, dan
anak kecil (Bayi?)”.
al-Jubba’I
: “ Orang Mukmin itu akan di masukkan kedalam surga, Orang
kafir akan dimasukkan kedalam neraka”
Imam Asy’ari :“ Bagaimana dengan anak kecil
itu?”,
Al-Jubba’i. :“anak kecil
itu tidak akan masuk neraka” (dalam hal ini Imam Ad-Dasuki menafsirkannya
dengan kaidah dalam madzhab Muktazilah, Manzilah Bainal Manzilatain)
Imam Asy’ari : “Apakah ia Akan mendapatkan
balasan yang tinggi seperti orang mukmin itu? (surga)”
Al-Jubba’I :
“tidak,karena ia tidak pernah berbuat baik”
Imam Asy’ari ; “kalau demikian, bagaimana
jika anak kecil itu perotes kepada tuhan, “ andaikan aku engkau beri
umur yang lebih panjang, maka akupun akan berbuat baik sepertinya””
Al-Jubba’I ; “Allah
akan menjawab,” aku tahu jika aku memberimu waktu yang lebih panjang, engkau
akan berbuat kekafiran/kejahatan, makadari itu, Allah memberikanmu umur
yang pendek agar engkau selamat dari itu semua
Imam Asy’ari :“ka;au begitu, bagaimana
jika orang kafir itu akan berkata,” lalu kenapa tidak kau wafatkan aku
ketika aku masih kecil juga, maka aku akan terhindar dari kekafiran atau
kejahatan?”
Setelah itu, Al-Jubba’I tidak mampu menjawab dan terdiam. Imam Asy’ary selanjutnya melakukan shalat dua rokaat dan berdo’a kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus, sampai diceritakan bahwa beliau tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ , dan beliau bersabda,” Ikutilah sunnahku”. Beliaupun terbangun dan mendapatkan petunjuk. Dan beliau Uzlah selama 15 hari.
Setelah itu beliapun datang ke
masjid Bashrah dan setelah shalat Jum’at beliau berkhutbah di atas mimbar,
“Wahai para manusia, aku telah menghilang diantara kalian (uzlah) selama
beberapa hari (15 hari), sebab aku telah membandingkan dalil yang sepadan dari
manhaj kita (Muktazilah) namun belum juga menguatkan kebenaran dari ke
bathilan, begitupun sebaliknya, maka akupun meminta petunjuk dari Allah,
kemudian dia, memberiku petunjuk, dan aku telah mencatatnya dalam kitab-kitab
taklifanku ini. Aku telah melepas apa yang dulu aku yakini sebagaimana aku
melepas baju ini”
Dapat kita ambil dari kisah diatas, bahwa kegagalan Al-Jubba’I menjawab pertanyaan Imam Asy’ari karena dia hanya berpatokan pada rasionalitas akal saja karena inti dari ajaran Mu’tazilah adalah harus bersumber dari sesuatu yang bersifat Qath’I, dan harus rasional (masuk akal)
Sebelum munculnya aliran-aliran dalam Islam seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qodariyah dan lainnya, belum ada aliran yang menamakan kelompoknya sebagai ahlussunnah wal jama’ah, sekalipun ajaran ahlusunnah wal jama’ah yang mereka jalankan, sebab umat Islam seluruhnya mengikuti ajaran Nabi ﷺ, secara utuh, dan konsisten tanpa ada yang membuat-buat aliran tertentu dalam Islam.
Jika memang ada aliran di masa itu yang mengaku kelompoknya sebagai ahlussunnah wal jama’ah itu mustahil, karena paham-paham dan ajaran yang mereka jalankan seluruhnya mengikuti ajaran Nabi ﷺ, secara keseluruhan tanpa ada yang di tambahkan.
Setelah munculnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk salah satunya ilmu kalam, maka setelah itu mulailah bermunculan aliran-aliran dalam Islam, termasuk aliran Mu’tazilah yang pertama kali memainkan institusi akal dalam wacana keagamaan yang berpaham Qodariyah. Kelompok Mu’tazilah ini terkenal sangat meragukan keabsahan dalam kandungan al-Qur’an dan hadits mereka berusaha menafsirkan sesuai dengan disiplin ilmu filsafat yang bersumber dari filsafat akal sesuai dengan pemahaman mereka sendiri tanpa bersumber kepada teks-teks syara’ yang ada. Bila al-Qur’an bertentang dengan akal, maka al-Qur’an yang disalahkan dan keputusan akal yang diambil, karena akal kebenarannya bersifat mutlaq.
Paham Mu’tazilah telah tersebar luas dan memiliki kekuasaan pada masa-masa Khilafah Ma’mun dan al Mu’tashim bin harun Rasyid. Sampai sekarang paham ini masih menyusup ke dalam masyarakat umat Islam di berbagai dunia modern terutama di barat bahkan di indonesia. Mu’tazilah mendapatkan sebuah apresiasi yang tinggi dari pemerintahan pada masa itu, namun mayoritas para ulama menyesalkan karena telah memberikan sebuah kebebasan dalam berpikir secara mutlak pada akal dalam memahami permasalahan-permasalahan dalam Islam. Sehingga menimbulkan satu kondisis yang tidak sesuai dengan konsep ilahiyyah.
Disiplin ilmu dalam pandangan da’wah aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dan nama tersebut berbeda antara Ahlussunnah wal jama’ah dengan pemahaman-pemahan yang mengikuti golongan yang tidak berpaham lurus. Ketika Rasulullah masih hidup, beliau pernah memprediksi bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan. Yang menarik, semua golongan tersebut tidak ada yang masuk dalam surga, semuanya berada dalam neraka, kecuali hanya satu yaitu (yang oleh sebagian besar umat Islam dikonsepsikan sebagai) Ahlusunnah wa al-Jama‘ah (selanjutnya disebut Aswaja).
Kemudian Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mualai memformulasikan gagasan teologinya agar lebih metodeologis dan sistematis. Karena pada waktu itu belum ada aliran teologi yang terstruktur dan menjadi pegangan masyarakat. Muktazilah yang awalnya menzadi madzhab resmi ideologi pemerintahan saaat itupun hanya mampu menjamah dan dicerna kalangan yang berpendidikan saja dan sangat sulit difahami oleh kalangan awam, karena keterbatasan kemampuan berfikir yang filosofis
Abu Hasan Al-Asy’ari akhirnya
mengambil jalan tengah antara gagasan pemikiran yang tekstual dan kontekstual
yang menggunakan teks nash dan akal, antara manhaj Muktazilah dan
Manhaj Salaf. Ia menengahi perseteruan teologi-teologi saat itu, antara
Muktazilah, Jabbariyyah, Qadariyyah. Ia berusaha membatasi kekuasaan dan kadar
akal, kebebasan bertindak serta Qadla’ dan Qadar Allah.
Menurut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari iman yang mantab haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti orang lumpuh, sedangkan ilmu tanpa iman layaknya orang buta. Selain itu dalil-dalil dari teks nash hanya akan dapat di fahami setelah kita menggunakan pengetahuan akal. Dan seharusnya Aqal dan Nash itu tidak boleh di pertentangkan, justru harus dipadukan dengan benar
Setelah al-Asy`ari merumuskan pokok-pokok pikirannya, ia tidak segera disambut oleh khalayak ramai. Ia masih tetap menjadi sosok yang mencurigakan. Namun berkat keteguhannya, akhirnya ajarannya menjadi sebuah teologi baru. Aliran ini segera berkembang meluas. Setidaknya ada dua alasan pokok mengapa aliran ini cepat berkembang. Pertama, alasan yang sifatnya substansial yaitu lebih dikarenakan formulasi teologisnya yang simpel dan tidak terlalu filosofis di samping juga berusaha meletakkan Tuhan sebagai yang serba segalanya. Simplisitas ini, misalnya, terdapat pada formulasi “dengan tanpa bagaimana” yaitu “dengan tanpa mempunyai bentuk dan batasan. Kedua, alasan yang sifatnya politis. Sejarah telah menunjukkan bahwa ajaran al-Asy`ari mampu memikat rakyat banyak berkat campur tangan penguasa. Keterlibatan al-Qādir lewat Risālah Qādiriyyah-nya dan Nizhām al-Muluk dengan Madrasah Nizhāmiyyahnya menjadikan ajaran al-Asy`arī semakin efisien.
Dr. Nashihun Amin dalam bukunya, “Paradigma Teologi Politik Sunni: Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy`ari Sebagai Perintis Pemikiran Politik Islam” mengatakan bahwa pemikiran teologi al-Asy`arī bisa diklasikasikan ke dalam tiga kelompok besar yaitu pemikiran yang berhubungan langsung dengan politik; pemikiran yang tidak berhubungan secara jelas dengan politik akan tetapi bisa ditarik benang merahnya dengan afiliasi politik tertentu dan pemikiran yang bersifat teologi murni.
Pembicaraan mengenai kaitan antara
pemikiran teologi dan kepentingan politik meniscayakan adanya penelusuran
mengenai motif yang terkandung di dalamnya. Apa sesungguhnya motif
al-Asy`ari dalam merumuskan gagasan teologisnya. Adakah penulisan
pemikiran teologis al-Asy`ari dimaksudkan untuk kepentingan politik pribadi
dengan cara menjustifikasi kekuasaan yang berlangsung waktu itu agar dekat dengan
kekuasaan atau bahkan mendapatkan kedudukan?. Ataukah agenda besar yang diusung
sebenarnya bukan bersifat individual melainkan lebih bersifat sosial-ideologis?
Barangkali inilah pertanyaan yang amat mendasar dari fenomena berubahnya
pemikiran al-Asy`ari dalam waktu yang relatif singkat, sehingga muncul
perubahan pemikiran yang amat tajam sesudah ia berada di kelompok ahli
al-hadits, padahal ia sudah terdidik dalam waktu yang amat panjang di
Mu`tazilah. Pemikiran teologisnya yang semula sangat memberikan peluang bagi
kemerdekaan dan kemampuan manusia berubah menjadi lebih moderat dengan
menyeimbangkan antara kebebasan dan keterbelengguan manusia.
Dialektika antara politik dan teologi dalam pemikiran al-Asy`ari mempunyai singgungan yang amat erat. Namun dari berbagai ajaran pokok yang tertuang dalam karyanya itu, tentu saja tidak semuanya didorong dan mempunyai implikasi terhadap perpolitikan. Ajaran-ajaran yang tidak berhubungan dengan aspek praktis kehidupan kemanusiaan tidak serta merta mempunyai implikasi politik, sekalipun bisa dilihat benang merahnya. Namun demikian, bukan berarti pokok-pokok pikiran tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat legitimasi. Hanya saja pokok-pokok pikiran seperti itu penerapannya hanya bisa dipakai dan sangat terbatas pada kekuasaan yang secara formal menggunakan Islam sebagai dasar, tidak bisa digunakan untuk negara yang tidak menggunakan Islam sebagai dasar sekalipun mayoritas penduduknya Muslim. Sedangkan pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan pembentukan karakter manusia tentu saja mempunyai hubungan dengan politik secara serius. Dikatakan serius mengingat pokok-pokok pikiran tersebut bisa menjadi faktor penggerak yang mewarnai dalam kehidupan manusia.
Konsep-konsep tersebut antara lain tentang:
1. kekuasaan dan keadilan Allah.
Bagi al-Asy`ari, Allah adalah zat yang Mahakuasa dan Mahaadil. Tentu demikian halnya bagi yang lain. Akan tetapi pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan ini ternyata antara satu pihak dengan pihak yang lain tidak sama. Adil, dalam pandangan Imam Asy’ari, adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (wadh`u al-syai’ fi mahallihi). Seseorang yang mempunyai kekuasaan berarti seseorang itu bisa melakukan apa saja terhadap apa yang dimiliki. Karena Allah adalah zat yang Mahakuasa berarti Dia bisa berbuat apa saja terhadap apa yang dikuasai-Nya. Jika Allah diakui zat yang Mahakuasa, maka apapun yang dilakukan Allah adalah sebuah bentuk keadilan. Tidak akan pernah ketidakadilan itu terdapat pada diri-Nya. Imam Asy`ari menggambarkan kekuasaan Allah seperti orang yang memiliki kekuasaan atas suatu barang yang dimilikinya dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya sendiri
2. Perbuatan Manusia.
Kekuasaan dan keadilan Allah sebagaimana dicanangkan oleh Imam Asy`ari di atas mengakibatkan posisi manusia menjadi sangat lemah. Kelemahan ini menjadi semakin nyata karena diperkuat dengan keyakinannya bahwa seluruh apa yang dilakukan manusia sesungguhnya telah ditentukan oleh Allah. Dalam kaitan dengan ini, Imam Asy`ari mengedepankan konsep qadha-qadar. Namun demikian, ia berusaha memberikan jalan keluar melalui konsep kasb. Menurut Imam Asy`ari manusia adalah lemah. Dalam kelemahannya itu manusia bergantung pada kehendak dan kekuasaan Allah. Apa yang dilakukan manusia sesungguhnya adalah ketentuan dan kehendak Allah. Namun demikian, Imam Asy`ari tetap memberikan porsi keterlibatan manusia dalam perbuatannya. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kehendak mutlak Tuhan itulah al-Asy`ari memakai kata kasb.
3. kemampuan akal manusia.
Keberadaan akal manusia sangat tergantung kepada pemahaman mengenai kekuasan dan keadilan Allah serta perbuatan manusia. Membaca dua penjelasan mengenai dua hal tersebut, bisa diketahui bahwa keberadaan manusia demikian lemah di hadapan Tuhan.
4. kebaikan dan keburukan.
Menurut al-Asy`ari yang disebut kebaikan adalah seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah swt. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah swt. Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt.
5. bi la kaifa wa la tasybih.
Selain melahirkan konsep keadilan
yang tidak memberikan ruang kritisisme bagi manusia, pandangan al-Asy`ari
mengenai kekuasaan Allah juga melahirkan konsep kesucian yang tidak
mungkin tertempeli sifat-sifat kemanusiaan. Hanya saja al-Asy`ari
kelihatan masih bersikap ambivalen. Ia tidak berani keluar sepenuhnya dari teks
yang memang secara tegas menyatakan bahwa ada penggambaran manusiawi. Demikian
juga, tidak ada keberanian untuk memahami penggambaran manusiawi itu apa
adanya.
Konsep ini merupakan konsep yang
dikembangkan dari adanya keyakinan bahwa Allah adalah zat yang berbeda dengan
segala sesuatu yang ada (laisa kamitslihi syai’un). Karena keterbatasan
penalaran manusia, maka manusia pasti tidak akan bisa menjelaskan bagai
mana dan di mana letak perbedaan Allah itu dengan segala selain-Nya. Manusia
adalah entitas relatif dan terbatas, sedangkan Allah adalah zat yang mutlak dan
tak terbatas. Apapun pemikiran yang dilakukan oleh manusia, termasuk mengenai
Tuhannya, selalu berada dalam keterbatasan. Oleh karena itu, pemikiran manusia
tidak akan bisa menyentuh kemutlakan dan ketakterbatasan Tuhan.
Selain beberapa pokok pikiran al-Asy`ari yang berhubungan langsung dengan politik, juga ada beberapa pokok pikirannya yang tidak secara jelas menampakkan hubungan dengan politik, tetapi bisa dilihat benang merah keterhubungan keduanya sebagai bentuk afiliasi politik pada masanya. Berbeda dengan pemikiran pertama yang dapat memberikan legitimasi bagi penguasa, keterhubungan jenis pemikiran kedua lebih banyak ditentukan oleh realitas politik bahwa pada waktu itu penguasa mengembangkan pemikiran teologis yang sama sehingga ada titik temu di antara keduanya.
Adapun beberapa pokok pikiran tersebut adala:
1. Kedudukan al-Qur’an
Imam Asy`ari berpendapat bahwa al-Quran adalah kalamullah, tidak berubah, tidak diciptakan, bukan makhluk dan tidak baru. Adapun huruf, bentuk, warna, dan suara adalah diciptakan. Al-Quran qadim sebagaimana qadimnya Zat Yang Maha Tinggi. Ia tidak tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena kata-kata dan huruf itu baru sehingga tidak melekat pada yang qadim dan wajib al-wujud.
2. Sifat Allah
Imam Asy’ari juga meyakini bahwa Allah itu bersifat dengan sifat-sifat yang sempurna, dan mustahil bersifat sebaliknya. Konsep sifat wajib, mustahil, dan jaiz berangkat dari kenyataan, bahwa untuk membuktikan eksistensi mayoritas sifat tersebut meskipun terdapat dalil naqli berupa Al-Qur’an dan hadits yang merupakan sumber akidah, tetap membutuhkan penalaran akal sehat, yang dalam konteks ini dikenal hukum 'aqli yang ada tiga, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz 'aqli. Terlebih bagi orang yang sama sekali belum percaya terhadap eksistensi Allah sebagai Tuhan maupun eksistensi para Rasul.
3. Hudustnya alam
Kemudian Alam semesta dan apapun yang ada di dalamnya menurut imam Asy’ari adalah sesuatu yang baru (Hudust) Tidak ada yang qadīm selain Tuhan. Ia menolak para filosof yang berpendapat bahwa alam adalah qadīm. Baginya, alam diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (al-ijād min al-`adam). Adanya kenyataan bahwa terjadi banyak perbedaan antara berbagai benda dan bahwa benda–benda tersebut selalu mengalami perubahan, menurut imam Asy`ari, merupakan suatu bukti kebaruan alam. Segala sesuatu yang mengalami perubahan adalah baru.
4. Esensi iman
Iman, menurut imam Asy`ari adalah
pembenaraan oleh hati karena tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul-Nya. Sedangkan batasan
iman adalah: “at Tashdiqu bil qalbi (Iman adalah membenarkan di dalam hati), qaulun billisan (diucapkan dengan lisan), dan amalun bil arkan wal jawarih (dibuktikan dengan amal anggota tubuh). Orang yang hatinya meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad dan setia mengerjakan amal saleh, disebut mukmin sempurna.
5. Melihat Allah di Akhirat
Imam Asy’ari berpendapat bahwa manusia mampu untuk ru’yatu Allah melihat Allah ketika di akhirat nanti Melihat Allah adalah nikmat yang paling besar di surga yang kelak dialami oleh manusia (laisa na`im fi al-jannah afdhal min ru’yatillah) Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-laqqoni dalam nadzam Jauharatu Al-Tauhid : “Termasuk jaiz aqli adalah melihat Allah melalui mata kepala bagi orang mukmin, akan tetapi hal itu tanpa kaifiyah dan tanpa batas. Hal ini (melihat Allah di dunia) berlaku bagi orang terpilih (Rasulullah)
6. Dosa besar
Orang mukmin yang melakukan dosa
besar, dalam pandangan al-Asy`arī, tetap dianggap mukmin.Tidak boleh dianggap
kafir meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan berzina, Nabi akan
memberi syafa’at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa
besar selama ia masih beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Ia hanya di golongkan
sebagai orang durhaka. Adapun mengenai dosa besarnya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah.
Dari pemaparan di atas, syekh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari melakukan sebuah perlawanana terhadap sekte Mu’tazilah. Perlawanan yang dilakukan dengan cara memperkuat keyakinan dalam da’wah aqidah untuk menghindari kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini beliau lakukan atas dasar amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk memurnikan agama Allah SWT. Sehingga kemurnian agama Islam tetap terjaga.
Ahli sunnah waljama’ah adalah sebuah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, teologi ini sering dicap dengan sebutan “Teologi moderat”. Rumusan teologi al-Asy’ari menggunakan argument tekstual berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli hadits yang ia dukung.
Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam teologi ahli sunnah waljamaah’ tergolong unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah, sehingga ia menggunakan argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argument logika.
Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan kontemporer bersifat terbuka, realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan akomodatif serta responsif) terhadap kemajuan keilmuan, oleh yang demikian menyebabkan aliran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah tetap eksis dan relevan untuk diterapkan dan dipertahankan dalam kehidupan kontemporer.
Daftar Pustaka
·
Amin, Dr. Nashihun. Paradigma Teologi politik
Sunni (Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Sebagai Pemikir Politik Islam). Semarang:
UIN Walisongo Semarang,2014
·
Amin, Dr. Nashihun. Sejarah Perkembangan
pemikiran Islam.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan.
Jakarta: UI Press. 1986
·
Al-Khazraji, Hammad bin Muhammad Al-Anshari. Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari. Madinah:Maktabah Syamilah/ (Universitas Islam Madinah).
1974
·
Bin Asakir, Abu Al-Qasim Ali bin Husain .
Tabyinu Kadzib Al-Muftari fi Ma Nushiba ila Al-Imam Al-Asy’ari, Beirut: Dar
Al-Kutub Arabi, 1984
Ibn Mubarok, Husain, At-Tajrid Ash-Sharikh, Maktabah Haramain, 2012
·
Ad-Dasuki, Muhammad, Hasyiyyah Ad-Dasuki ‘Ala
Ummu Al-Barahin, Surabaya:Maktabah Dar- Al-Ilmi, 2014