Mereka memandang sinis hal ini. Menurut mereka, pesantren adalah lembaga dengan sistem pengajaran yang dogmatis, memiliki kekolotan intelektual, dan terlalu kaku. Adapun semua hal ini ujung-ujungnya adalah menyatakan kekolotan kyai sebagai pemimpin pengajaran agama di pesantren dan juga kitab Ta’lim Al-Muta’allim sebagai landasan etika belajar santri.
Gus Fahmi Arif El-Muniry mengatakan,” Membicarakan kitab Ta’lim tidak ada habis-habisnya. Saya pernah bertemu dengan salah satau pakar pendidikan ternama di negeri ini. Perjumpaan kami tak lain adalah untuk mendiskusikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, kebetulan teman saya yang menjadi asistennya mengusulkan nama saya untuk menjadi pemateri acara rutin di kantornya.
Mendekarti hari yang di tentukan, saya menyiapkan segala sesuatu. Menyiapkan kerangka-kerangka ringan yang saya sadur dari kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Ibarat petarung, saya siap untuk berperang, karena yang akan saya hadapi adalah seorang pakar pendidikan yang (sebelumnya) menolak konsep kitab Ta’lim Al-Muta’allim.
Namun, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Memang, saya di kasih kesempatan untuk mempresentasikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Tapi, tidak asa tanggapan sama sekali. Malah, pakar pendidikan tersebut berkata, “Tahun 80’an saya pernah mengusulkan agar kitab Ta’lim Al-Muta’allim itu di bakar saja. Memang, saya tidak membacanya karena saya bukan orang pesantren. tapi saya banyak mendengar dari kawan-kawan saya yang orang pesantren bahwa isi kitab ini sangat membodohkan. Kitab ini memuji kyai setinggi langit, menghalangi santri untuk kritis. Suatu waktu, saya pernah menghadiri suatu acara pesantren. di sana saya melihat sendiri betapa orang orang berebut untuk mencium tangannya (kyai). Dengan cara ini, bagaimana tradisi ilmiyah berjalan di pesantren?.”
Di depannya saya pakar tersebut seperti hendak menumpahkan kekesalannya terhadap apa yang berjalan di pesantren. panjang sekali ia bercerita mengenai bobroknya gaya belajar pesantren (menurutnya), sehingga sayapun tidak kuat menceritakannya lagi.”
Padahal, kitab ini, adalah suatu kitab adab yang membentuk seorang pencari ilmu akan tingkah lakunya semasa belajar maupun ketika sudah selesai. Bisa dilihat sendiri, misalnya Syekh Az-Zarnuji mengatakan, bahwa setelah mempelajari agama, seseorang harus mempelajari yang namanya ilmu Hal. Ilmu yang berkenaan dengan bersosial, bermasyarakat, dan ilmu yang sesuai dengan zamannya. Misalnya ilmu tekhnologi, ekonomi, dll.
Keterangan-keterangan yang ada di dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini seharusnya membuat terpesona siapa saja yang mau memahaminya. Saya yakin, apabila orang di luar pesantren yang mau mempelajari, dan memahaminya secara sungguh-sungguh, pastilah mereka akan memikirkan ulang mengenai tudingan mereka tentang “kolotnya” kitab ini.
Ada lagi sebuah keterangan,” Abu Hanifah berkata, ’Saya mendengar ada seorang ahli ilmu dari Samarkand berkata, ‘seseorang datang jauh dari bukhara hanya ingin mendiskusikan persoalan tentang ilmu. Seperti inilah seharusnya yang dilakukan pencari ilmu, tak segan-segan mendiskusikan segala sesuatu. Allah saja memerintahkan kepada nabi untuk diskusi dengan para sahabatnya. Padahal nabi adalah orang yang paling pandai, sehingga sepanjang hidup beliau biasa berdiskusi bahkan dengan para sahabatnya’”.
Ini menunjukkan bahwa Mushonnif ingin menunjukkan keharusan bagi seorang ahli ilmu untuk menambah ilmunya dan menambah semangat intelektualitas dengan cara berdiskusi dan berdialog. Ketika seseorang membaca buku, pada hakikatnya ia hanya akan menemukan pengetahuan yang tidak lebih dari 60% saja, selebihnya bisa dilakukan dengan tukar pikiran dan pendapat. Karena cara kerja pikiran hanya mampu mengungkap satu sisi saja sedangkan satu sisinya di tangkap oleh pikiran orang lain. Untuk menangkap kedua sisi itulah dibutuhkan diskusi dimana di dalamnya terdapat dua sudut pandang dari dua pikiran yang berbeda. Pada acara diskusi itu pula, pemahaman sepenuhnya dari suatu pengetahuan akan didapat dan di rajut.
Dalam konsep ilmu logika ada yang dinamakan Dialektika. Konsep ini di kemukakan oleh Hegel. Maksud dari konsep tersebut adalah hukum pertentangan antara dua oposisi setingkat yang akan mengantarkan pada proposisi yang lebih tinggi. Jadi, jika ada tesis maka akan muncul anti tesis dan sintesa.
Dalam hukum ini, tidak ada konsep yang benar maupun salah, dua proposisi tersebut bukanlah suatu penentang terhadap yang lain, melainkan justru untuk mengantarkan pandangan seseorang ke tingkat yang lebih tinggi.
Pesantren justru sudah lama melakukan hal iitu, dengan mengadakan musyawaroh-musyawaroh sughro maupun kubro, dan juga sebuah forum diskusi besar yang biasa di sebut Bahtsul Masa’il. Di mana para santri mengadakan forum musyawarah dan adu argumen mengenai suatu permasalahan yang juga di hadiri oleh pengasuh serta para ppentahqiq.
Nyatanya, aktifitas diskusi yang dilakukan para “penuduh” itu, justru adalah hal yang sudah dilakukan dan di anjurkan ulama-ulama terdahulu, bahkan sebuah kitab yang di anggap sebagai biang kekolotan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim. Syaikh Az-Zarnuji melihat besarnya manfaat dari diskusi ini, sehingga hal tentang diskusi di ulnag-ulang dalam kitab ini. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim adalah kitab yang mengajak orang untuk berfikirkritis, meluaskan pandangan dan mengajak santri untuk menerima perbedaan pendapat.
Kitab ini juga mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang intelektual yang arif, yang tiada hanya mengagungkan pengetahuan saja, namun juga bisa menyelaraskan kecerdasan akal, emosional, dan religiusitas. Sesuatu yang sat ini menjadi trend, bahkan di suatu kampus Universitas Islam Negri menerapkan Visi ini dengan menyebutnya “ Kesatuan Ilmu”.
Di dalam kitab ini pun menyebut bagaimana kita harus menguatkan kepekaan sosial. Tersebut dalam ucapan Mushonnif, “ menjadi seorang ahli ilmu harusnya wira’I, setengah dari wira’I adalah tidak terlalu banyak makan, tidak terlalu banyak tidur, dan tidak banyak berguarau. Dan di usahakan tidak makan di pasar (warung) karena mengakibatkan mudah terkena najis, mudah melupakan Allah, dan membuat hati orang-orang miskin yang melihatnya menjadi sakit lantaran mereka tak mampu membelinya. Kepedihan orang-orang itu membuat ilmu yang kita pelajari menjadi tidak berkah.”
Begitu jeli Syaikh Az-Zarnuji menguak kepekaan sosial, sampai- sampai, hal yang kita anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai efek yang besar. Pandangan seperti ini susah untuk di fahami dan ditemukan dari mereka epistemologi masyarakaat barat. Bagi mereka, hal ini adalah masalah lain yang bukan merupakan masalah inti.
Sungguh kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, hadir sebagai suatu hamparan mutiara yang tiada bandingannya. Asalkan bisa membaca dan bersungguh-sungguh untuk memahaminya. Di dalamnya terkandung ajaran yang sangat luar biasa dan tetap worth it sampai di masa yang akan datang. Di dalam kitab ini, terdapat kandungan materi pembelajaran yang jauh atas semua tudingan "terbelakang" orang-orang luar pesantren yang menganggap bahwa kitab ini dan pesantren adalah lambang kejumudan intelektualitas.
Judul : Ta'lim Al-Muta'allim Thoriq At-Ta'allum
Penulis: Syaikh Burhan Ad-Dien Az-Zarnuji
Jumlah Halaman : 136
Penerbit : Maktabah Al-Anwariyyah
Kota: Sarang Rembang
Tahun : 1431
Oleh: Muhammadun (Khadim Ihya'ussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar