Postingan Populer

Kamis, 11 Februari 2021

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah


Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan dengan syari’at. Gerakan-gerakan ini adalah gerakan yang di bawa oleh anak-anak muda yang baru pulang belajar dari timur tengah yang terpengaruh oleh ajaran atau doktrin Wahabiyyah. Wahabiyyah sendiri, adalah doktrin yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabiyyah ini sendiri pada akhirnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi.

Kitab ini di tulis oleh KH. Sya’roni Ahmadi, seorang ulama’ dan ahli Al-Qur’an asal Kudus. Beliau  lahir di Kudus pada 17 Agustus tahun 1931. Sejak kecil, beliau belajar pada beberapa ulama’ khos sekaliber seperti, KHR. Asnawi Kudus, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdul Mukhith, KH. Turaikhan Adjhuri, serta ulama’-ulama’ lainnya. Kyai Sya’roni sendiri sudah menghafal Al-Qur’an sejak berumur 14 tahun di bawah bimbingan KH. Arwani Amin Al-Hafidh Al-Quds, Ulama’ Qur’an asal Kudus pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus.

KH. Sya’roni Ahmadi juga aktif dalam kegiatan dakwah. Di tahun 1960-1970’an, ideologi Komunis marak berkembang di Indonesia, terutama di Kudus. Selain itu, juga muncul kelompok-kelompok yang menyebarkan faham atau ideologi salafi-wahabi yang seerti diterangkan di awal, bahwa kelompok ini menyesatkan tradisi atau amaliyah masyarakat muslim. Saking getolnya, Kyai Sya’roni bahkan sampai harus tidur di tajug yaitu, sebuah tempat di sebelah padasan (tempat wudlu) di area makam Sunan Kudus, dengan di jaga Banser-NU karena di ancam akan di bunuh oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang produktif dalam menulis beberapa karya. Seperti, Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah,At-Tasrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir, Qira’ah Al-Asyriyyah, Faidh Al-Asani Ala Hirz Al-Amani Wa Wajh At-Tahani, dll.

Kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah, memiliki isi atau pembahasan yang cukup menarik. Banyak ayat-ayat alqur’an dan hadits yang termaktub di dalam kitab ini, sehingga bukan hanya memakai argumen akal dan bisa dipastikan layak untuk di jadikan hujjah. Setidaknya, terdapat 33 bab yang ada di dalam kitab ini. Kitab ini cukup menarik karena, di awal kitab kyai Sya’roni menuturkan bahwa kitab ini ditulis oleh beliau. Kitab ini adalah hasil notulensi keterangan-keterangan para Ulama’ Aswaja saat dilangsungkan pertemuan di forum ulama’ Aswaja di Kudus saat itu yang di pimpin oleh KH. Muhammadun Pondowan seorang yang memiliki gelar singa podium aswaja  dan Syibawaih Jawa oleh Sayyid Muhammad Al-Alawi Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani. Pada waktu menghadiri diskusi, Mbah Madun datang dengan membawa banyak kitab, namun saat menukil pendapat-pendapat para ulama, beliau tidak membuka satupun kitab-kitab yang dibawanya sama sekali, sebagai upaya meyakinkan hadirin yang terdiri dari seluruh kalangan islam akan dlabit (kecerdasan) dan kompetensi beliau dalam bidang yang sedang didiskusikan.

Konon, penyusunan kitab ini juga di ilhami oleh kitab Bariqat Al-Muhammadiyyah Ala Thariqat Al-Ahmadiyyah karya KH. Muhammadun. Di harapkan oleh Kyai Sya’roni sendiri, dengan di susun-nya kitab ini, maka di harapkan masyarakat dan kaum aswaja semakin kuat dan tidak luntur aqidahnya. Sampai saat ini, kitab ini di pelajari oleh pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang tersebar di nusantara

 

Judul                           : Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah

Penyusun                     : KH. Sya’roni Ahmadi

Jumlah Halaman          : 43 Halaman

Penerbit                       : (?)

Kota                            : Kudus

Tahun                          : 1970 (?)


Bisa di download disini

Rabu, 03 Februari 2021

Nafs (Jiwa) : Aql (Akal), Qalb (Hati), dan Nafsu

 


Ahad (31/01/2021) kemarin, pada hari lahir NU, Pondok Pesantren Darul Falah Be-songo Semarang, mengadakan pembukaan acara atau kegiatan “Pascalib”. Sebuah acara rutin yang di adakan pasca liburan semester ganjil yang di isi oleh kegiatan-kegiatan yang meningkatkan skill dan kecakapan para santri. Dalam acara tersebut, KH. Imam Taufiq memberikan wejangan, mengenai pentingnya belajar, mencari ilmu, dan menggunakan waktu sebaik mungkin. Apalagi di waktu/kondisi seperti ini.

Dalam rangka itu, para santri di himbau oleh beliau untuk selalu belajar dalam rangka menambah ilmu dan mengembangkan ilmu, serta selalu berserah diri dan berdzikir kepada Allah sebagai ikhtiyar batin dalam menghadapi kondisi dan situasi seperti ini.

Hal ini, sesuai dengan apa yang di paparkan oleh ulama’-ulama’ tasawuf dalam literal-literal-nya. Bahwa dalam Nafs (tubuh/jiwa), terdapat Aql (akal/pikiran), dan Qalb (hati) dan bagaimana me-management semuanya. Karena, kesemuanya itu saling terkait. Ulama’-ulama’ tasawuf menyebutnya dengan istilah tazkiyatun nufus/nafs.

Sayyid Nagib Al-Atthos menuturkan dari Imam Al-Ghazali, bahwa ada yang di sebut jiwa (Nafs). Kemudian di dalam jiwa terdapat akal (Aql) dan hati (Qalb).  Akal adalah wujud dari kesadaran manusia yang membedakannya dengan hewan. Dengan akal, manusia mampu memilih antara yang Haqq dan yang Bathil mampu membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal, kita mampu untuk memahami agama dengan benar dan tsiqah.  Menggunakan akal pula, kita mampu untuk memahami situasi serta keadaan sekitar. Akal adalah poin terpenting dalam beragama secara benar dan bijak.

Lalu, Hati yang akan menentukan pilihan bagi Nafs (jiwa). Hati memiliki peranan penting bagi jiwa. Karena kadang-kadang, apa yang di katakan oleh akal benar, tapi menurut hati, itu adalah salah. Hati, adalah seonggok daging yang di sebut dalam hadist:

 

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. رواه البخاري ومسلم.

 

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)


Kemudian, ada satu hal lagi yang ada dalam Jiwa, yaitu adalah Nafsu. Nafsu adalah keinginan atau kemauan  yang ada pada diri manusia. Nafsu sendiri kadang-kadang berisi tentang keburukan, kadang-kadang juga berisi kebaikan. Di sebutkan juga oleh Syaikh Ibnu Atha’illah:

تمكن حلاوة الهوى من القلب هو الداء العضال

Artinya, “Kedudukan kenikmatan hawa nafsu di hati adalah penyakit kronis.”

Nafsu sendiri, oleh para ulama’ di klasifikasi menjadi tiga macam. Yang pertama adalah Nafsu Al-Ammarah, yaitu nafsu yang sering tidak terkendali dan mengajak untuk melakukan perbuatan yang di larang oleh Allah, yang mendorong pada syahwat serta perbuatan-perbuatan jahat lainnya.

Yang kedua adalah Nafsu Al-Lawwamah, nafsu yang masih bisa di atur oleh manusia, dengan akal-nya. Sehingga ketika seseorang mempunyai ilmu, maka dia dapat mengendalikan nafsunya. Dan yang terakhir adalah Nafsu Al-Muthma’innah, yaitu adalah nafsu yang dimiliki oleh orang-orang sholeh yang selalu mengajak kepada kebaikan.

Kesemuanya adalah kesatuan yang harus di menejemen dengan baik dan benar. Dengan akal, maka manusia mampu menalar dan membedakan antara yang baik dan benar. Dengan hati, manusia bisa mempunyai rasa peka dan bisa merasakan bahagia  serta bisa memilih dengan tepat. Dan nafsu, apabila dilatih dengan benar, maka ia akan mampu membimbing manusia mensucikan jiwanya dan membuat kita selalu dekat dengan Allah.

Oleh : Muhammadun (khadim Ihyaussunnah As-Saniyyah)



Jumat, 04 Desember 2020

Mbah Madun: Sosok Tawadlu' Ahli Ilmu



Mbah Muhammadun adalah sosok yg luar biasa.  Setiap malam beliau memasak sendiri untuk istrinya. Satu ketika ada santri matur : "Yai, kersane kulo mawon sg masak.  - kata beliau : "Ojo nang.  Aku masakke bojoku iki sbb hurmat karo guruku (Mbah Yasin). Istri Mbah Madun adalah putri Mbah Yasin Waliyulloh

Beliau adalah sosok alim allamah. Mungkin beliau adalah Ulama jawa terakhir yg mengajar Alfiyah Mukhtar bin Bunah as-Syinqithi. Sebuah kitab nadzam nahwu berjumlah 3000 bait.  Dimana Muallif (ibnu Bunah) melengkapi Alfiyah Ibnu Malik yg hanya 1002 bait menjadi 3000 bait lebih.  

Saat ini saya tidak pernah dengar ada pesantren mengajarkan kitab tsb.  Keculi di daerah asalnya, Syinqith (Afrika). Alfiyah Mukhtar bin Bunah ini dikenal juga dgn "Turroh Ibnu Bunah". (طرة ابن بونة)
 
Syaikhuna Sanusi Yasin pernah cerita : "Aku iki termasuk santri terakhir sg ngaji Alfiyah Ibnu Bunah dgn Mbah Madun".

Kealiman beliau dlm ilmu nahwu tidak diragukan lagi.  Dulu saat masih nyantri di Mbareng, beliau sangat istiomah mengkaji kitab "Dahlan Afiyah".

Kealiman mbh Madun dlm bidang nahwu ini sehingga beliau men-syarahi Alfiyah Suyuthi.  Kita tahu bahwa Alfiyah Suyuthi ini oleh pengarangnya diklaim lebih keren daripada Ibnu Malik.  Begitulah gaya Imam Suyuthi. 

Ketika Sowan Kyai Aniq Muhammadun, beliau cerita bhw Mbah Madun ini punya Syarah Alfiyah Suyuthi. Hanya tidak sampai rampung.Alhamdulillah alfaqir pernah membaca syarah tsb.Masih tulisna tangan beliau.Bagus banget tulisannya. Saat ini tersimpan di perpustakaan Pondowan.

Dalam bidang sastra arab, Mbah Madun ini luat biasa. Beliau mengajar kitab "Talkhisul Miftah" karya Pionir sastra, Imam as-Sakkaki.Para santri pasti tahu Talkhisul Miftah ini adalah babonnya kitab "balaghah". Kitab jauhar al-Maknun itu diambil dari kitab ini.

Penguasaan beliau terhadap kitab-kitab fiqh top. Dulu saat beliau diundang menghadiri munadzarah di Menara Kudus, beliau hadir tanpa membawa kitab.Apa yg beliau sampaikan saat itu ditulisi oleh KH Sya'roni Ahmadi, dan jadilah kitab "Al-Faraid as-Saniyah.

Oleh: An-Naml

Senin, 23 November 2020

Mbah Nyai Halimah: Sosok Perempuan Tangguh yang Melahirkan Tokoh-Tokoh Hebat



Beliau adalah ibunda Mbah Muhammadun, Pondowan Tayu Pati. Mbah Halimah menikah dg Mbah Murtomo alias Mbah Ali Murtadho. Dari pernikahan tersebut telah melahirkan 6 putra yg alim dalam bidang ilmu agama. Enam putranya tersebut adalah Mbah Abdul Basyir, Mbah Abdul Adzim, Mbah Muhdhori, Mbah Muhammadun, Mbah Mahsun, dan Mbah Halimi. 


Mbah Halimah bersama suami dan putra2nya berdomisili di Cebolek Kidul Margoyoso Pati. Sepeninggal beliau, ia berwasiat agar petilasannya diwakafkan menjadi pesantren. Lalu oleh putra pertama beliau, Mbah Abdul Basyir dibangunlah gedung pesantren dan kemudian dinamakan Mansajul Ulum. Saat itu yg didapuk utk menunggui pesantren adalah Bapak (Mbah Abdullah Rifa'i) yg merupakan menantu Mbah Muhammadun. 


Sejak kecil hingga saya meninggali petilasan beliau di Cebolek ini belum pernah mendengar cerita tentang wafat beliau. Baru hari ini saya dikabari oleh pak lek KH. Aslam Muhammaduna bahwa, tgl 8 Muharram adalah haul beliau. Karenanya kami langsung mengajak santri-santri utk tahlil bersama-sama di sarean beliau. 


Mbah Halimah ini adalah sosok perempuan shalihah yg ahli riyadhah. Kiai Aniq Muhammadun beberapa tahun lalu saat haul Emak (Mbah Salamah Muhammadun, putri KH. Muhammadun) dan saat reuni Bani Muhammadun pernah menceritakan bahwa Mbah Halimah ini bisa dibilang wali perempuan. Doa beliau "mandi" alias manjur. Konon katanya Mbah Yasin waliyullah, Jekulo (adik beliau) tidak berani menentang ucapan beliau. Karena tahu bahwa ngendikakan beliau itu sangat manjur. Karena doa dan riyadhah beliau itulah menurut Kiai Aniq, semua putra-putra beliau menjadi orang yg alim dalam ilmu agama. 


Sosok Mbah Halimah ini merepresentasikan profil perempuan-perempuan kuno yg kehidupannya sangat luar biasa tetapi seringkali tdk terekam dalam sejarah. Tetapi dalam keluarga kami Mbah Halimah ini cukup unik. Meski beliau bukan seorang ibu nyai yg disegani, tetapi nama beliau lebih banyak disebut dalam silsilah keluarga dibanding Mbah Murtomo, suaminya. Saya tak tahu kenapa bisa seperti itu. Saya berasumsi barangkali karena beliau hidup lebih lama dibanding Mbah Murtomo. 


Tapi dari cerita diatas saya membayangkan Mbah Halimah ini kemungkinan adalah sosok perempuan cerdas dan cadas (tangkas dan berani). Beliau selain tekun ibadah dan kuat dalam riyadhah, juga punya pikiran yg maju dan berani. Kenapa demikian? Karena beliaulah yg dulu memiliki inisiatif untuk mewakafkan seluruh tanah warisan beliau utk dijadikan pondok pesantren. Dan yg boleh menempati atau melanjutkan tempat tinggal beliau adalah yang siap ngurip2 pondok itu. Karenanya seluruh tanah warisannya yg berada di kompleks ndalem beliau menjadi tanah wakaf.


Tidak sembarang orang punya pikiran dan keberanian yg demikian maju. Apalagi perempuan pada masa itu. Hanya orang2 yg berpikiran maju dan "tidak kedunyan" (orang2 yg Zuhud) yg berani melepaskan hartanya utk menjadi harta wakaf di jalan Allah utk pengembangan pendidikan. Dan Mbah Halimah mencontohkan itu kepada kita. 


Karenanya Kiai Aniq Muhammadun saat tausiah itu berpesan kepada kami bahwa menjadi ibu itu harus kuat riyadhah seperti Mbah Halimah. Agar anak-anaknya kelak menjadi orang yg alim. Karena doa ibu itu sangat mustajab. 


Semoga kita semua bisa meneladani pribadi beliau yg shalihah dan muthi'ah. Amin.

Lahal Fatihah.


Sumber: Bu Nyai Umdah El Baroroh (Cucu KH. Muhammadun Pondowan. Sekarang mengasuh PP. Mansajul Ulum Al-Mutsla Cebolek)

Sabtu, 01 Agustus 2020

Menyembelih Sapi Bagi Muslim Kudus


 

         

Masyarakat muslim di dunia pasti menyambut dengan gegap gembira hari raya Idul Adha. Di saat Idul Adha semua orang bergembira. Di antara mereka ada yang melaksanakan Haji yang menjadi salah satu rukun dalam Islam dan pada waktu Idul adha pula, dilakukan ritual kurban yang dilaksanakan sebagai wujud syukur dan memuji Allah atas apa yang di berikan oleh-Nya.

Di Indonesia sendiri Idul Adha mempunyai banyak sebutan seperti,  Idul Kurban karena dilakukannya ritual Kurban. Di sebut juga, hari raya Haji karena berbondong-bondongnya orang muslim yang melaksanakan haji pada hari itu. Hewan yang di kurbankan umumnya adalah Sapi dan Kambing. Tetapi, berbeda dengan masyarakat kudus. 

Di kudus, suatu kota metropolitan mungil di jawa tengah ini,  terdapat tradisi unik dimana terdapat “Anjuran”  agar tidak menyembelih daging sapi bagi warga asli Kudus. Ini terjadi karena dahulunya, pada saat penyebaran Islam di Kudus oleh Sayyid Ja’far  Shodiq Azmatkhan, atau Sunan Kudus. Masyarakat Kudus pada saat itu, masih di dominasi oleh kaum hindu yang meng-kramat-kan Sapi. Sunan Kudus lalu mendatangkan beberapa sapi besar yang berasal dari India. Kemudian beliau mengikat sapi-sapi tersebut di halaman Masjid.

Beliau mencoba menarik simpati dari masyarakat dengan cara mencegah bahkan melarang menyembelih sapi untuk menghormati masyarakat Hindu kala itu. Beliau mberdiskusi dan berdialog dengan mereka hingga akhirnya, secara bertahap, akhirnya masyarakat kudus pun memeluk agama Islam.

Sampai sekarang, meskipun tidak ada lagi masyakat Hindu di Kudus, masyarakat Kudus tetap mempertahankan tradisi tersebut. Mereka  lebih memilih kerbau, walaupun harganya lebih mahal, tetapi masih memegang tradisi tersebut. Kita dapat melihat pada makanan khas Kudus seperti Soto Kudus dan Sego Pindang yang menggunakan dgaing Kerbau dan Ayam. Tapi tak jarang saya jumpai, beberapa warung di luar Kudus yang menjual makanan khas Kudus, namun menggunakan daging Sapi. Ternyata, setelah di telusuri, mereka bukan masyarakat asli Kudus.

Sayangnya saat ini, budaya ini mulai luntur dikarenakan kurangnya kepekaan budaya dan adanya kelompok masyarakat yang tidak mempersoalkan lagi hal-hal seperti itu. Padahal, itu merupakan warisan dakwah sunan Kudus yang memiliki pesan nilai toleran, dan santun. Sehingga di harapkan mampu di teladani oleh berbagai generasi masyarakat Kudus.

Sumber: An-Naml

Selasa, 16 Juni 2020

Ta’lim Al-Muta’allim: Biang Kerok Kejumudan Pesantren? (2)



Mereka memandang sinis hal ini. Menurut mereka, pesantren adalah lembaga dengan sistem pengajaran yang dogmatis, memiliki kekolotan intelektual, dan terlalu kaku. Adapun semua hal ini ujung-ujungnya adalah menyatakan kekolotan kyai sebagai pemimpin pengajaran agama di pesantren dan juga kitab Ta’lim Al-Muta’allim sebagai landasan etika belajar santri.

Gus Fahmi Arif El-Muniry mengatakan,” Membicarakan kitab Ta’lim tidak ada habis-habisnya. Saya pernah bertemu dengan salah satau pakar pendidikan ternama di negeri ini. Perjumpaan kami tak lain adalah untuk mendiskusikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, kebetulan teman saya yang menjadi asistennya mengusulkan nama saya untuk menjadi pemateri acara rutin di kantornya.
Mendekarti hari yang di tentukan, saya menyiapkan segala sesuatu. Menyiapkan kerangka-kerangka ringan yang saya sadur dari kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Ibarat petarung, saya siap untuk berperang, karena yang akan saya hadapi adalah seorang pakar pendidikan yang (sebelumnya) menolak konsep kitab Ta’lim Al-Muta’allim.

Namun, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Memang, saya di kasih kesempatan untuk mempresentasikan kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Tapi, tidak asa tanggapan sama sekali. Malah, pakar pendidikan tersebut berkata, “Tahun 80’an saya pernah mengusulkan agar kitab Ta’lim Al-Muta’allim itu di bakar saja. Memang, saya tidak membacanya karena saya bukan orang pesantren. tapi saya banyak mendengar dari kawan-kawan saya yang orang pesantren bahwa isi kitab ini sangat membodohkan. Kitab ini memuji kyai setinggi langit, menghalangi santri untuk kritis. Suatu waktu, saya pernah menghadiri suatu acara pesantren. di sana saya melihat sendiri betapa orang orang berebut untuk mencium tangannya (kyai). Dengan cara ini, bagaimana tradisi ilmiyah berjalan di pesantren?.”

Di depannya saya pakar tersebut seperti hendak menumpahkan kekesalannya terhadap apa yang berjalan di pesantren. panjang sekali ia bercerita mengenai bobroknya gaya belajar pesantren (menurutnya), sehingga sayapun tidak kuat menceritakannya lagi.”

Padahal, kitab ini, adalah suatu kitab adab yang membentuk seorang pencari ilmu akan tingkah lakunya semasa belajar maupun ketika sudah selesai. Bisa dilihat sendiri, misalnya Syekh Az-Zarnuji mengatakan, bahwa setelah mempelajari agama, seseorang harus mempelajari yang namanya ilmu Hal. Ilmu yang berkenaan dengan bersosial, bermasyarakat, dan ilmu yang sesuai dengan zamannya. Misalnya ilmu tekhnologi, ekonomi, dll.

Keterangan-keterangan yang ada di dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini seharusnya membuat terpesona siapa saja yang mau memahaminya. Saya yakin, apabila orang di luar pesantren yang mau mempelajari, dan memahaminya secara sungguh-sungguh, pastilah mereka akan memikirkan ulang mengenai tudingan mereka tentang “kolotnya” kitab ini.

Ada lagi sebuah keterangan,” Abu Hanifah berkata, ’Saya mendengar ada seorang ahli ilmu dari Samarkand berkata, ‘seseorang datang jauh dari bukhara hanya ingin mendiskusikan persoalan tentang ilmu. Seperti inilah seharusnya yang dilakukan pencari ilmu, tak segan-segan mendiskusikan segala sesuatu. Allah saja memerintahkan kepada nabi untuk diskusi  dengan para sahabatnya. Padahal nabi adalah orang yang paling pandai, sehingga sepanjang hidup beliau biasa berdiskusi bahkan dengan para sahabatnya’”.

Ini menunjukkan bahwa Mushonnif ingin menunjukkan keharusan bagi seorang ahli ilmu untuk menambah ilmunya dan menambah semangat intelektualitas dengan cara berdiskusi dan berdialog. Ketika seseorang membaca buku, pada hakikatnya ia hanya akan menemukan pengetahuan yang tidak lebih dari 60% saja, selebihnya bisa dilakukan dengan tukar pikiran dan pendapat. Karena cara kerja pikiran hanya mampu mengungkap satu sisi saja sedangkan satu sisinya di tangkap oleh pikiran orang lain. Untuk menangkap kedua sisi itulah dibutuhkan diskusi dimana di dalamnya terdapat dua sudut pandang dari dua pikiran yang berbeda. Pada acara diskusi itu pula, pemahaman sepenuhnya dari suatu pengetahuan akan didapat dan di rajut.

Dalam konsep ilmu logika ada yang dinamakan Dialektika. Konsep ini di kemukakan oleh Hegel. Maksud dari konsep tersebut adalah hukum pertentangan antara dua oposisi setingkat yang akan mengantarkan pada proposisi yang lebih tinggi. Jadi, jika ada tesis maka akan muncul anti tesis dan sintesa.

Dalam hukum ini, tidak ada konsep yang benar maupun salah, dua proposisi tersebut bukanlah suatu penentang terhadap yang lain, melainkan justru untuk mengantarkan pandangan seseorang ke tingkat yang lebih tinggi.

Pesantren justru sudah lama melakukan hal iitu, dengan mengadakan musyawaroh-musyawaroh sughro maupun kubro, dan juga sebuah forum diskusi besar yang biasa di sebut Bahtsul Masa’il. Di mana para santri mengadakan forum musyawarah dan adu argumen mengenai suatu permasalahan yang juga di hadiri oleh pengasuh serta para ppentahqiq.

Nyatanya, aktifitas diskusi yang dilakukan para “penuduh” itu, justru adalah hal yang sudah dilakukan dan di anjurkan ulama-ulama terdahulu, bahkan sebuah kitab yang di anggap sebagai biang kekolotan pesantren, Ta’lim Al-Muta’allim. Syaikh Az-Zarnuji melihat besarnya manfaat dari diskusi ini, sehingga hal tentang diskusi di ulnag-ulang dalam kitab ini. Kitab Ta’lim Al-Muta’allim adalah kitab yang mengajak orang untuk berfikirkritis, meluaskan pandangan dan mengajak santri untuk menerima perbedaan pendapat.

Kitab ini juga mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang intelektual yang arif, yang tiada hanya mengagungkan pengetahuan saja, namun juga bisa menyelaraskan kecerdasan akal, emosional, dan religiusitas. Sesuatu yang sat ini menjadi trend, bahkan di suatu kampus Universitas Islam Negri menerapkan Visi ini dengan menyebutnya “ Kesatuan Ilmu”.

Di dalam kitab ini pun menyebut bagaimana kita harus menguatkan kepekaan sosial. Tersebut dalam ucapan Mushonnif, “ menjadi seorang ahli ilmu harusnya wira’I, setengah dari wira’I adalah tidak terlalu banyak makan, tidak terlalu banyak tidur, dan tidak banyak berguarau. Dan di usahakan tidak makan di pasar (warung) karena mengakibatkan mudah terkena najis, mudah melupakan Allah, dan membuat hati orang-orang miskin yang melihatnya menjadi sakit lantaran mereka tak mampu membelinya. Kepedihan orang-orang itu membuat ilmu yang kita pelajari menjadi tidak berkah.”

Begitu jeli Syaikh Az-Zarnuji menguak kepekaan sosial, sampai- sampai, hal yang kita anggap biasa-biasa saja, ternyata mempunyai efek yang besar. Pandangan seperti ini susah untuk di fahami dan ditemukan dari mereka epistemologi masyarakaat barat. Bagi mereka, hal ini adalah masalah lain yang bukan merupakan masalah inti.

Sungguh kitab Ta’lim Al-Muta’allim ini, hadir sebagai suatu hamparan mutiara yang tiada bandingannya. Asalkan bisa membaca dan bersungguh-sungguh untuk memahaminya. Di dalamnya terkandung ajaran yang sangat luar biasa dan tetap worth it sampai di masa yang akan datang. Di dalam kitab ini, terdapat kandungan materi pembelajaran yang jauh atas semua tudingan "terbelakang" orang-orang luar pesantren yang menganggap bahwa kitab ini dan pesantren adalah lambang kejumudan intelektualitas.

Judul : Ta'lim Al-Muta'allim Thoriq At-Ta'allum
Penulis: Syaikh Burhan Ad-Dien Az-Zarnuji
Jumlah Halaman : 136
Penerbit : Maktabah Al-Anwariyyah
Kota: Sarang Rembang
Tahun : 1431

Oleh: Muhammadun (Khadim Ihya'ussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)

Ta’lim Al-Muta’allim: Biang Kerok Kejumudan Pesantren? (1)



Kalangan pesantren pastinya mengenal sebuah kitab adab yang bernama Ta’lim Al-Muta’allim. Kitab karangan Syaikh Al-Zarnuji ini mempunyai segudang cerita menarik, serta ajaran-ajaran mengenai etika maupun akhlak bagi santri, atau orang yang sedang mencari ilmu. Pengajaran adab dalam kitab ini, sangat mengena dan seperti menarasikan karakteristik masyarakat Nusantara, khususnya Jawa kuno. Oleh karena itu, kitab ini sangat populer dikalangan masyarakat muslim Nusantara sebagai pengajaran etika untuk di ajarkan kepada para santri.

Kitab ini di tulis oleh syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Zarnuji, beliau adalah seorang ulama’ kelahiran Zarnuj, Turki. belum ditemukan data konkret mengenai profil beliau.  Tidak ada yang mengetahui kapan kelahiran maupun wafatnya beliau, beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa beliau wafat pada 591 H. ada pula yang mengatakan, bahwa beliau wafat pada tahun 640 H.

Penulisan kitab Ta’lim Al-Muta’allim di sebabkan kegundahan Mushonnif, saat melihat banyaknya para santri saat itu, gagal atau sulit memperoleh apa yang mereka cari, seperti yang tertulis dalam mukaddimahnya. Banyak yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, tetapi tidak memperolehnya. Ada juga yang berhasil, namun tidak memperoleh manfaatnya, seperti kemampuan untuk mengamalkan dan mengajarkannya.

Pada zaman Mushonnif, Ilmu berkembang pesat, seiring meluasnya wilayah kekhalifahan kaum muslimin. Ilmu menjadi duatu faktor tinggi, dan majunya umat muslim saat itu. Energi Iqro’ dari Al-Qur’an yang menjadi perlambang ilmu pengetahuan semakin kuat.

Awalnya pada masa khulafa’ arrasyidin,. Sepeninggal Rosulullah, para khalifah mengirimkan para sahabat ke seluruh penjuru, untuk memberikan pengajaran tentang Islam, dan berbagai macam pengetahuan lainnya. Kemudian setelah masa kekhalifahan Umawiyyah, ibukota di pindahkan ke Damaskus, Syiria yang penuh dengan peninggalan kebudayaan Yunani, yang terkenal maju. Selruh pengetahuan Yunani, kemudian di terjemahkan pertama kali oleh khalifah Khalid bin Walid kedalam bahasa Arab.

Keilmuan yang semakin maju tersebut berbarengan dengan runtuhnya kekhalifahan Umawiyyah, yang kemudian di gantikan oleh masa kekhalifahan Abbasiyyah. Tidak berhenti sampai di situ, transisi kekuasaan tidak meruntuhkan geliat intelektual saat itu. Malahan, khalifah Al-Manshur memboyong seluruh ulama’, ahli ilmu, dan para penerjemah ke Baghdad, untung merangsang pengembangan pengetahuan. Pada masa ini, di sebut The Golden Age dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak sekali Halaqoh-halaqoh intelektual yang di selenggarakan di banyak tempat bahkan di sudut-sudut tempat.

Kemudian oleh kyai Mushonnif, Syekh Az-Zarnuji dijawab, bahwa hal itu di karenakan para thullab telah melenceng dari jalurnya. Mereka tidak mengetahui syarat-syarat mencari ilmu, sehingga akibatnya mereka gagal dalam mencari ilmu. Dalam kitab tersebut, Syekh Az-Zarnuji memaparkan dan mengarahkan bagaimana mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bagaimana adab dalam memilih guru, teman dan juga ilmu dengan waktu yang ideal. Kitab ini merupakan karya penelitian atas perilaku ulama-ulama sebelumnya yang telah di anggap berhasil. Maka, kita pun di suguhkan kisah-kisah cerita para ahli ilmu, serta hadist-hadist nabi yang berkaitan dengan ilmu.

Pada hakikatnya, semua yang di tulis oleh Mushonnif adalah hikmah konsep dari pembelajaran para Ulama’-ulama’ dan didukung pula oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist. Mushonnif juga menggunakan fashl dalam metode penulisannya, beliau menulis tiga belas fashl;
1. Menerangkan tentang mengenai hakikat ilmu dan Fiqh sebagai sumber dasar mencari ilmu.
2. Menerangkan tentang niat dalam mencari ilmu.
3. Menerangkan tentang Memilih ilmu yang di pelajari, dan memilih guru serta teman yang teguh  dalam mencari ilmu.
4. Menerangkan tentang Memulyakan ilmu dan ahli ilmu serta keluarganya.
5. Menerangkan tentang Kesungguhan mencari ilmu, dan mempunyai cita-cita yang tinggi.
6. Menerangkan tentang Permulaan belajar, kadarnya, dan urutan ilmu yang di pelajari.
7. Menerangkan tentang Tawakkal, pasrah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
8. Menerangkan tentang Waktu belajar.
9. Menerangkan tentang Tentang kebaikan.
10. Menerangkan tentang Tentang cara mencari faedah dalam ilmu.
11. Menerangkan tentang Larangan menjauhi maksiyat.
12. Menerangkan tentang Etika menghafal.
13. Menerangkan tentang Hal-hal yang memudahkan memperoleh rizki, umur, dan hal-hal yang menghalanginya.

Kitab ini, oleh kalangan di luar pesantren, di anggap sebagai akar penyebab kemunduran tradisi intelektualisme pesantren. karena mereka menganggap, bahwa aktivitas intelektualisme, diskusi, halaqoh-halaqoh yang membuka lebar kran pendapat atau adu argumentasi sama sekali tidak di temukan. Sementara yang sering di jumpai adalah sistem pendidikan konvesional yang di kenal dengan sistem ngaji bandongan. Kyai membacakan materi dari kitabnya, sedangkan santri mendengarkan dengan patuh, menundukkan hati, mata dan pikirannya. Santri sendiko dawuh dengan apa yang di tuturkan kyai sebagai mahaguru.

Bersambung...


Oleh: Muhammadun (khadim Ihyaussunnah As-Saniyyah Loram Kulon Kudus)

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan ...