Postingan Populer

Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah KeIkhlasan Gus Dur



Dikisahkan oleh Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, tentang keikhlasan sosok KH AbdurrahmanWahid (Gus Dur). Suatu hari KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) menggelar acara pernikahan putra beliau. Saat itu, untuk membantu kelancaran acara, Gus Dur memberikan bantuan banyak sekali  sehingga acara pernikahan dapat berjalan dengan baik.

Selanjutnya Gus Dur pun berkata kepada Mbah Moen bahwa kewajibannya untuk membantu acara Mbah Moen sudah dilaksanakan. Sekarang saatnya Mbah Moen membantunya dengan menutupi semua amal kebaikan yang sudah dilakukannya dan tidak menceritakan kebaikannya tersebut kepada orang lain dengan berbagai cara. Salah satunya, Gus Dur meminta kepada Mbah Moen untuk pura-pura saling bermusuhan agar segala amal kebaikannya tidak diketahui oleh orang lain. Cukup Allah SWT yang tahu. Oleh karena itu ketika semasa hidup Gus Dur, Mbah Moen dan Gus Dur terlihat sangat bermusuhan karena memang sudah direncanakan untuk bersandiwara.

Namun ketika Gus Dur meninggal dunia, sandiwara pun usai. Mbah Moen lah yang memimpin prosesi pemakaman Gus Dur. Tidak hanya itu, prosesi selanjutnya, Mbah Moen lah yang mengimami tahlil takziyah hari ketujuh. Mbah Moen lah yang mengisi mauidzah hasanah peringatan 1000 hari wafat dan haulnya Gus Dur. Jadi sebenarnya Gus Dur dan Mbah Moen tidaklah bermusuhan namun hanya bersandiwara atau pura-pura permusuhan untuk menutupi amal baik Gus Dur. “Gus Dur benar-benar wali,” kata Kiai Marzuki Mustamar.

Kisah kedua tentang keikhlasan Gus Dur terjadi saat Gus Dur membawa tiga buah koper ke rumah seseorang yang bernama Agus di  Kelurahan Jatikerto Malang. Gus Dur berkata kepada Agus untuk tidak membuka koper tersebut sebelum  Gus Dur meninggal dunia.

Sesuai amanah, setelah Gus Dur meninggal dunia, dibukalah koper tersebut dan ternyata didalamnya berisi uang sebanyak 3 miliar rupiah. Saat dibuka, uang dalam koper tersebut sudah dimasukkan ke dalam amplop yang nantinya, Agus lah yang bertugas untuk membagikannya kepada para anak yatim piatu dan para janda di Kabupaten Malang.

Dan luar biasanya lagi, di dalam amplop tersebut sudah tertulis nama dan alamat yatim piatu dan para janda yang akan menerimanya. Inilah karomah Gus Dur bisa tahu nama dan alamat anak yatim dan para janda sebegitu banyak di Malang. Padahal kala itu, Gus Dur berada di Jakarta sedangkan para penerima uang dalam koper berada di Kabupaten Malang.

Kiai Marzuki pun pernah merasakan sendiri keikhlasan dari Gus Dur saat dirinya mendapatkan sarung merk BHS yang diberikan Gus Dur melalui seorang Habib di Sidoarjo. Habib tersebut berkata bahwa sarung itu adalah titipan dari Gus Dur yang harus diberikan kepada para kiai setelah Gus Dur meninggal Dunia. Karena ketika dibagi sebelum Gus Dur meninggal, maka para kiai akan mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur. Maka itu, sampai sekarang sarung itu pun sangat disayang oleh Kiai Marzuki. Ia menyebut sarung tersebut sebagai piagam dari Gus Dur.

Kisah lain keikhlasan sosok Gus Dur adalah ketika ditanya oleh seseorang tentang apa yang paling penting di dalam hidupnya. Gus Dur pun menjawab baginya yang terpenting nomor satu adalah bangsa, nomor dua adalah NU dan nomor 3 adalah keluarga.

Ini pun bukan omongan belaka. Prinsip ini benar-benar dibuktikan oleh Gus Dur saat suatu hari baru kembali dari Italia membawa uang yang cukup banyak. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya namun mampir mampir terlebih dahulu di Kantor NU.

Uang yang dibawa tersebut langsung habis dibagikannya kepada seluruh pegawai di kantor NU. Tidak ada yang tersisa untuk keluarga di rumah. Ketika Ibu Shinta Nuriyah (Istri Gus Dur) menanyakan uang tersebut untuk mengirim biaya putrinya yang sedang kuliah di Universitas Gajah Mada, Gus Dur pun menjawab bahwa uang tersebut sudah dibagikannya ke pegawai di Kantor NU.

Ibu Shinta pun jengkel dan menanyakan alasan kenapa uang tersebut dihabiskan di Kantor NU. Ditengah Ibu Shinta meluapkan kejengkelannya, Gus Dur malah bisa tertidur pulas, tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Ternyata prinsip “Emang Gue Pikirin, Gitu Aja Kok Repot” benar-benar tertanam dalam diri Gus Dur. Ia tetap sabar dan ikhlas walaupun dimarah dan diomong apapun oleh orang lain.

Gus Dur tidak punya hasrat agar amal baiknya dipuji oleh orang lain. Yang terpenting menurutnya Allah lah yang akan mencatatnya. Itulah mengapa saat Gus Dur wafat, orang yang semasa hidupnya mengkafir-kafirkan dan mengatakan Gus Dur sesat dan sebagainya merasa kehilangan dan semua orang pun menangis. Gus Dur memiliki magnet yang sangat kuat karena keikhlasan yang dicontohkannya semasa hidup di dunia.

KHR Asnawi: Kiai Pejuang di Masa Kolonial



Nama asli Kiai Asnawi adalah Raden Syamsi. Nama Asnawi diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Beliau juga pernah menggunakan mana Ilyas, ketika pertama kali berangkat haji, nama inilah yang dikenal ketika belajar di tanah Hijaz.

Asnawi, atau Raden Syamsi, lahir di Damaran, Kudus, pada 1281 H/1861 M. Ia merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah, keduanya adalah pedagang konveksi yang cukup besar di kota Kudus. Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih keturunan ke-14 Sunan Kudus (Syech Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati.

Sebagai sosok ahli ilmu, sejak kecil sudah terlihat kegemaran Kiai Asnawi dalam belajar dan melakukan rihlah ilmiyyah (perjalanan keilmuan). Orang tuanya merupakan guru pertama, dalam mengaji tajwid dan penguasaan bacaan al-Qur’an. Kemudian, Asnawi kecil melakukan perjalanan ke Tulungagung, ikut orang tuanya berbisnis. Di kota ini, ia mengaji di sebuah pesantren. Kemudian, Asnawi kecil pindah ke Jepara, mengaji kepada KH. Irsyad Naib, di kawasan Mayong. Dari jalur keilmuan, jelas bahwa Kiai Asnawi mempunyai sanad yang tersambung dengan ulama-ulama Nusantara, di antaranya Kiai Saleh Darat (Semarang), Kiai Mahfudz at-Termasi (Termas, Pacitan), KH. Nawawi al-Bantani, dan Sayyid Umar Shatha.

Kiai Asnawi juga mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji di tanah Makkah. Kiai Asnawi bermukim di Makkah, selama kisaran 20 tahun. Selama mengaji di Makkah, beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan yang berasal dari Kudus. Ketika belajar di Makkah, ayah Kiai Asnawi wafat. Meski demikian, kecintaan pada ilmu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengasah pengetahuan.

Ketika mengaji di Makkah, Kiai Asnawi menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah, janda Syech Nawawi al-Bantani. Pernikahan ini dikaruniai 9 putra, di antaranya H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Saleh, Tayu), dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).

Kiai Asnawi merupakan sosok aktifis sekaligus pendidik. Beliau sudah mulai mengajar santri ketika masih berada di Makkah, di antara santri-santrinya, yakni Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, KH. Dahlan, Kiai Saleh Tayu, Kiai Chambali (Kudus), KH. Mufid (Kudus), dan Kiai Ahmad Muchit (Sidoarjo).

Sang Kiai Pejuang

Kiai Asnawi sadar bahwa perjuangan harus menjadi semangat kaum santri untuk mengusir penjajah. Kiai Asnawi, meski telah banyak berkhotbah dan memberi pengajaran kepada santri, tetap bertekad untuk terjun langsung menjadi penggerak. Menginspirasi para santri dan rakyat untuk berjuang.

Ketika pulang ke tanah air pada 1916, Kiai Asnawi mendirikan madrasah di kawasan Menara Kudus, dengan sebutan Madrasah Qudsiyyah. Beliau bersama teman-temannya, membangun masjid Menara, agar menjadi rujukan tempat ibadah kaum santri. Pada waktu itu, kaum santri dan pengusaha Tionghoa di Kudus bersaing dalam ekonomi dan politik.

Pada masa sebelum kemerdekaan, KH. Raden Asnawi pernah bergabung dengan  pergerakan Sarekat Islam (SI), sebagai komisaris di Makkah. Kiai Asnawi dekat dengan beberapa aktifis pergerakan, di antaranya H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto dan beberapa tokoh lainnya. Sepulang dari Makkah, Kiai Arwani dipercaya sebagai penasihat SI Kudus pada 1918.

Kiai Arwani juga dikenal sebagai anti-penjajah. Beliau dengan teguh mengobarkan semangat juang para santri, dan tidak mau tunduk pada kepentingan rezim Hindia Belanda, maupun Jepang. Kiai Arwani sering berdakwah dengan semangat jihad kemerdekaan, untuk memompa semangat kaum santri agar berani berjuang melawan penjajah di bumi Nusantara.

Pada masa pendudukan Jepang di bumi Jawa, Kiai Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok dikepung oleh tentara Nippon, beliau juga dibawa ke markas Kempetei di Pati. Pada masa revolusi kemerdekaan, Kiai Asnawi menjadi penggerak kaum santri, sekaligus juga benteng spiritual para pejuang. Beliau mengajak santri dan warga muslim untuk membaca Shalawat Nariyah dan doa Surat al-Fiil. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam jaringan laskar pejuang, berbondong-bondong sowan ke Kiai Asnawi untuk meminta doa, sebelum bertempur.

Kiai Asnawi juga menjadi sosok kiai yang turut mendirikan Nahdlatul Ulama. Pertemanan dan persahabatan dengan beberapa kiai Jawa, di antaranya Kiai Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansurie dan beberapa kiai lain, menjadi ikatan kuat sosok beliau dengan perjuangan Nahdlatul Ulama, yang didirikan pada 1926. Ketika ajaran Wahabi mulai menggeliat di jazirah Arab yang dampaknya terasa di kawasan Nusantara, Kiai Asnawi tidak tinggal diam. Beliau memperjuangkan ajaran ahlus sunnah wal-jamaah agar berakar kuat di negeri ini. Kiai Asnawi didelegasikan oleh komunitas kiai, yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah untuk mengupayakan strategi diplomatik, dalam rangka menggagalkan pembongkaran kuburan Nabi Muhammad.

Kiai Asnawi wafat pada usia 98 tahun, tepatnya pada 25 Jumadil Akhir 1378 H/26 Desember 1959 M. Kiai Asnawi menjadi salah satu poros keilmuan, aktifisme, dan keteladanan bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Beliau mempopulerkan shalawat, yang kemudian dikenal sebagai “Shalawat Asnawiyyah”, yang sampai sekarang sering dibaca di majelis-majelis kaum santri di pelbagai daerah.

Prinsip perjuangan dan istiqomah dalam mengajar menjadi teladan hikmah Kiai Asnawi. Pengajian umum Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan Majelis Pitulasan di Majelis al-Aqsha Kudus, merupakan warisan pembelajaran Kiai Asnawi, yang sampai sekarang masih berjalan.
________________________

Oleh: Munawir Aziz, peneliti, editor penerbitan dan Wakil Sekretaris LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz)

Sumber : NU ONLINE

Selasa, 13 Agustus 2019

KH.Abdurrahman Wahid: Ulama',Pemimpin,dan Guru Bangsa



Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.

 Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

 Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

 Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

 Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut.  Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

 Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.

 Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.

 Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual  muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.

 Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

 Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual  kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

 Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.

 Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

 Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.

 Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.  Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

 Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.

PENDIDIKAN

1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah

1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur

1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)

1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab

KARIR

1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen

1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng

1980-1984 Katib Awwal PBNU

1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU

1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia

1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI

1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB

1999-2001 Presiden Republik Indonesia

2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar

2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia

2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia

PENGHARGAAN

2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010

2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI

2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)

2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali

2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid

2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar

2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center

2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)

2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang

2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia

2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia

2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat

2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan

2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia

2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.

2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat

2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat

2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International

1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia

1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina

1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir

1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia

Doktor Kehormatan:

Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000

Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)

Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)

Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)

Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)

Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)

Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)

Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Ihya'ussunnah Assaniyyah


 Ihya'ussunnah Assaniyyah awalnya adalah musholla, yg disebut langgar wetan, yang merupakan Musholla ke 3 di desa loram kulon. Kemudian oleh KH. M. Masyhuri bin KH. Abdul Ghoni sekitar tahun 1950an. Pondok ini menyatu dengan Musholla Ihya’ussunnah yang sudah berdiri puluhan tahun sebelumnya.

    Pondok ini kemudian dibangun dan diteruskan oleh kakak Kiai Masyhuri yang juga petinggi pertama desa Loram Kulon, yaitu KH. M. Ihsan beserta kedua anaknya, KH. M. Najib dan KH. M. Tholhah. Selain ngaji pondok, di musholla ini juga menyelenggarakan Sekolah Arab Miftahul Ulum yang bertempat di langgar dan paseban (balai desa) petinggi. Sekolah ini menjadi cikal bakal madrasah yang ada, yang dikembangkan di kemudian hari bersama tokoh masyarakat dan ulama setempat.

    Musholla ini juga menjadi pusat organisasi kepemudaan di daerah Jati seperti IPNU dan GP. Anshor. Setelah wafatnya KH. M. Tholhah dan KH. M. Ihsan dan kemudian KH. M. Najib, ngaji di langgar dilanjutkan oleh Kiai Musta’in Sahal bin H. Ahsin dan beberapa waktu kemudian oleh Kiai M. Liwauddin dan Ustadz M. Ishlahul Umam, Ustadz M. In’amullah dan Ustadz M. Abul Fadhli. Telah banyak alumninya yang menjadi kiai, tokoh masyarakat, dosen, guru, pengusaha, dan orang yang bermanfaat bagi orang lain.


KH.Sanusi Ali Mbareng :Seorang Kyai Wali

    Beliau adalah KH. Sanusi yg dimakamkan diselatan Masjid Kauman Jekulo. KH. Sanusi  dilahirkan dari pasangan Bapak Ya’qub dan Ibu Sarijah. Saat hidupnya beliau lebih di kenal dengan sebutan H. Sanusi Ali, namun keterangan lain nama Ali tersebut bukan nama asli melainkan laqob atau nama panggilan yg berasal dari istilah Sanusi Kulon Kali, Lalu anak-anak kecil sering menyebutnya dengan menyingkat Mbah Sanusi Kulon kali menjadi Mbah sanusi Ali.Mungkin karena  memang beliau mempunyai dua rumah, satu di dukuh Kauman yang  berada di timur sungai Logung dan yg satunya lagi berada di sebelah barat sungai Logung, lebih tepatnya di utara pasar mbareng lama,  di dukuh Tambak jaya.



    Beliau mbah sanusi Ali yang sering melakukan laku sulik riyadloh pada masa remajanya ini memang mempunya banyak karomah.

    Seperti kebanyakan para wali lainnya, beliau memulainya dengan suluk dan riyadloh. Pada masa remaja, beliau melakukan riyadloh dengan bertapa selama 40 hari tanpa bekal di puncak Argo Jimbangan, salah satu puncak yg berada di gunung Muria. Jika kita lihat dari bawah, Argo Jimbangan adalah gugusan paling timur dari deretan gugusan gunung Muria. Di sanalah Mbah Sanusi melakukan riyadloh, untuk menemukan rasa ing jati, rasa ing rasa, yaitu makrifat kepada Allah dengan cara mengenali diri sendiri.

    Selama khalwat di puncak Argo Jimbangan, setiap lima waktu beliau selalu didatangi seekor macan, tapi bukan hendak memangsa beliau, melainkan membawakan bumbung bambu yg berisikan air untuk berwudlu. Maka setelah genap empat puluh hari beliau pun turun dan pulang ke rumah. Tatkala beliau pulang ini, ada cerita lucu. Tatkala itu, ibu Mbah Sanusi sedang menimba dengan menggunakan senggot, tiba-tiba saja senggot tsb terasa berat hingga ibu beliu tak mampu mengangkatnya. Si ibu pun berteriak-teriak minta tolong. Mengetahui hal itu Mbah Sanusi pun menampakkan diri dan berkata, "aku seng ganduli mbok", ternyata Mbah Sanusi yg tadi tidak menampakkan diri sambil memegangi senggot, bermaksud memamerkan kesaktian sekaligus bercanda dgn ibunya.

    Sebagai seorang pemuka agama di desa Jekulo dan sebagai rujukan kyai setempat, terutama KH. Yasin, mertua sekaligus paman KH. Muhammadun Pondowan. Beliau juga mempunyai hubungan batin yang erat dgn Kiai Zubair Sarang Rembang. Sebagaimana yang diceritakan oleh bapak Ah. Saiq dari keterangan Kiai Muhammad. Bahwa Mbah Sanusi sering melakukan telekomunikasi batin dengan Kiai Zubair. Namun mengenai yang dibicarakan mereka berdua tidak ada keterangan yangg jelas. Tatkala KH. Hasyim As'ari hendak meminta ijin ke Habib Hasyim Pekalongan beliau juga bersinggah di waliyulloh Mbah Sanusi, sebelum akhirnya beliau mengantarkan Kiai Hasyim ke rumah Mbah Raden Asnawi Kudus. Dari cerita ini bisa ditarik kesimpulan bahwa beliau juga mempunyai hubungan yang erat dengan ulama-ulama di tanah jawa. Namun pada suatu ketika beliau ditanya oleh Kiai R. Asnawi, "mengapa NU tidak berkembang di Jekulo?" beliau tersenyum dan menjawab, "jarke mawon. malah seng sae ngoten." Mungkin karena ucapan beliau inilah pada akhirnya Kiai-kiai di Jekulo jarang ikut organisasi.

    Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Almarhum Kiai Muhammad; Pernah suatu pagi Simbah Sanusi menyapu di depan langgar (Musholla), diam menunduk, hanya tangannya saja yg bergerak-gerak. tatkala KH Yasin yg merupakan murid beliau sowan, beliau berkata bahwa td Beliau itu sedang membantu seorang di Malang jawa timur.
    
    Pada kesempatan lain, tatkala Kh Yasin sowan ke rumah Simbah Sanusi di pagi hari, KH Yasin disuguhi Nasi Samin yg masih hangat oleh Mbah Sanusi. Meliahat suguhan itu Kiai Yasin bertanya dgn dialek jawa, “Nasi Samin yg penuh Daging tsb berasal dari mana??” Mbah Sanusi menjawab dgn bahasa jawa, “Itu lho tadi Jam setengah enam pagi aku dapat undangan di Mekah” kemudian Kiai Yasin Menimpali, “waktu aku Haji, kebanyakan Nasi di mekah memang Nasi Samin”. Padahal pagi itu beliau masih di Jekulo.
Simbah Sanusi tergolong Auliya’ yg sering memperlihatkan Keramatnya. Sehingga keramat beliau terlalu banyak untuk dapat diceritakan. Seorang Kiai berkata bahwa keramat Mbah Sanusi tidak ubahnya keramat Sheikh Abdul Qadir Al Jaelani, hanya saja yg membedakan, kalau Sheikh Abdul Qadir adalah Sulthonul Auliya’.
    
    Diantara keramatnya lagi, Beliau pernah bepergian ke sebelah selatan baratnya kota Jogjakarta, iaitu di daerah Laut Selatan. Di laut tersebut terdapat Masjid Nabi Khidlir a.s yg terliahat oleh Simbah Sanusi. beliau memasuki Masjid tsb, kemudian Masjid tadi tenggelam ke dasar laut. Dan anehnya setelah keluar, tubuh beliau sama sekali tak basah. Diriwayatkan, sebentar setelah kejadian tsb, beliau Simbah Sanusi mendapat Anugerah dari Allah berupa Kembang Jaya Sampurna, yg berupa kayu, dan barang siapa membawanya jadi mempunyai kedudukan sebagaimana para ratu. Jadi tak heran, saat Bupati Kudus sakit, si bupati menyuruh abdi dalemnya untuk memohon Obat kepada Mbah Sanusi. Dan oleh Mbah Sanusi diberi satu keping uang godem. beliau menyuruh agar uang tsb diremdam dlm air, kemudian air tsb diminum. Setelah mengikuti anjuran beliau, alhamdulillah Allah menyembuhkan sakit si Bupati. Seperti yg diceritakan Kiai Muhammadun Pondowan.

    Kiranya cukup sedikit cerita tentang keramat beliau. Agar kiranya cerita tersebut dapat menambahkan keyakinan dalam hati kita. Seperti firman Allah dalam surat Hud Ayat 120; wakullan Naqusshu ‘Alaika min Anbaai arrusuli ma nutsabbitu bihi fuadak, ila akhiril ayat. Imam Sya’roni berkata dlm kitabnya, “bahwasannya Iman terhadap keramat para wali adalah Wajib dan Haq. Setiap keramat para Auliya’ adalah bukti mukjizat para Nabinya. Jadi keramat Auliya’ Muhammad Shalallah alaihi wa sallam adalah bagian dari Mukjizat yg menunjukkan kebenaran beliau dan sahnya Agama beliau saw”.

    Adapun silsilah Beliau adalah sebagai berikut ini:
:: Waliyulloh Mbah Sanusi
:: Bin Ky. Ya’qub di Makamkan di Gili Tenggeles :: Bin Raden Mas Hadi Kesumo (KH. Abdur Rohman makamnya di Ngembalrejo Kudus)
:: Bin Raden Mas Sumo Hadiwijoyo, makamnya di Mlati Kudus.
:: Bin Raden Mas Tumenggung Adipati Hadi Kesumo Nengrat.
:: Bin Raden Mas Tumenggung Adipati Surya Kesumo Mejobo Kudus.

    Silsilah beliau Simbah Sanusai sampai kepada Waliyulloh Abdur Rahman Ba’abud yg lebih dikenal dengan nama Amangkurat Mas II, Tegal Arum. Raden Amangkurat Mas merupakan salah satu keluarga Kerathon Surakarta yg mengasingkan diri dari pemerintahan.

    Tuan guru beliau diantaranya adalah Habib Nuh Bin Muhammad Al Habsyi Singgapura, Kiai Iskandar Banyumas dan para Ulama di Mekah. Kami belum dapat keterangan yg lebih detail tentang Guru-guru beliau.
   
     Diantara murid-murid beliau adalah KH. Yasir, KH Yasin dan KH Dahlan, ketiganya adalah Ulama’ setempat di daerah Jekulo. Juga KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati. Beliau KH Muhammadun ber-baiat Thariqah Naqsabandiyyah pada Simbah Sanusi dengan baiat khusus, dan oleh Simbah Sanusi KH Muhammadun dipesan agar tak mengijazahkan kepada sembarang orang.
    
    Begitulah kira-kira sepenggal Biografi tentang Waliyulloh Mbah Sanusi. Haul beliau diadakan pada Malam hari setelah Isya’ oleh Masyarakat dan keturunan beliau, setiap Tanggal 18 Syawal.

    Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, dan memasukkan beliau kedalam Surga bersama Syuhada’ Shalihin dan Anbiya’ di ‘Illiyyin, surga yg tinggi, dengan Anugerah dan RahmatNya. Dan semoga berkah beliau sampai juga kepada Kita semua. Amin
    
    Dan itulah tadi kramat yang dimiliki oleh KH Sanusi Ali bserta keramat-keramatnya semoga kita dapat di berikan keberkahan oleh Allah

Sumber:DISINI

Sabtu, 10 Agustus 2019

Mimpi Mbah Moen tentang Gus Dur


 
    Mungkin beberapa waktu yang silam kita melihat hubungan KH. Maimoen Zubair (Rembang) dengan keluarga Gus Dur (Ciganjur) biasa-biasa saja. Bahkan ada yang menilai ini sebuah kekurang harmonisan, KH. Maimoen Zubair dianggap tokoh yang bertentangan dengan Gus Dur. Tapi itu kurang tepat, karena justru akhir-akhir ini Mbah Mun (sapaan akrab KH. Maimoen Zubair) justru terlihat sangat dekat dengan keluarga Ciganjur. Gus Syukron Abyne Maysun menceritakan dari Gus Fahim Mulabbi bin KH. Muharror Ali Kaliwangan Blora,murid Mbah KH. Arwani Kudus.
    
    Beberapa hari yang lalu, tepatnya malam Jum’at, ada salah seorang murid pergi sowan ke ndalem gurunya, Mbah KH. Maimoen Zuber, di Rembang. Seperti biasanya, sang tamu pun diajak ngobrol oleh tuan rumahnya. Obrolan guru dengan murid. Di sela-sela ngobrol itulah Mbah KH.Maimoen Zuber bercerita bahwa beliau bermimpi shalat berjamaah menjadi makmum. Hadhratus Syaikh Mbah KH. Hasyim Asy’ari juga ikut menjadi makmum. Sedangkan yang menjadi imam dalam shalat tersebut adalah KH. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. 
    
    Dulu pun, saat ICMI di awal-awal perintisan, Mbah Moen pernah ditawari untuk masuk ke dalamnya. Karena beliau termasuk kiai yang multitalenta dalam pandangan banyak pihak, bukan saja dari kalangan sesama kiai. Keberadaan ICMI secara tersirat tidak dikehendaki oleh Mbah Mun, sama seperti Gus Dur.“Aku ini tidak pernah setuju dengan Gus Dur”, kata KH. Maimun Zubair. “Yah... namanya manusia. Tapi aku tidak berani membenci, apalagi memusuhinya. Takut kuwalat!” Kenyataannya, tidak seratus persen Mbah Maimun berseberangan dengan Gus Dur. 
    
    Ketika suatu kali seorang tokoh intelektual datang jauh-jauh dari jakarta untuk mengajak beliau masuk ICMI, Mbah Maimun menolak. “Pak Kiai ini intelektual yang mumpuni lho”, katasi tokoh, “cocok sekali kalau masuk ICMI!”“Ah, saya cukup Nahdlatul Ulama saja, gabung rombongannya pewaris nabi.” kata Mbah Mun.“Memangnya di ICMI nggak bisa?”“Kan nggak ada hadits al-ICMI waratsatul anbiya’. Kalau al-Ulama'ada!” kata Mbah Mun.

    Bahkan kalau kita kembali mengingat saat prosesi pemakaman Gus Dur, dugaan ketidakharmonisan Mbah Mun dengan Gus Dur (keluarga Ciganjur) jelas meleset. Karena nyatanya sebelum jenazah Gus Dur dimasukkan ke liang lahat dan dilakukan upacara kenegaraan yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY, usai itu KH. Maimun Zubair lah yang diberi kesempatan memerikasa jenazah Gus Dur. Dan barulah jasad Gus Dur dikeluarkan dari peti jenazah dan secara perlahan dimasukkan ke liang lahat. 

Wallahu al-Musta’an A’lam.

Shalawat Nariyah


    Keberadaan Shalawat Nariyah memang menjadi kontroversi tersendiri di kalangan umat Islam. Ada yang mengatakan itu bid’ah, syirik dan sebagainya. Tapi di berbagai daerah shalawat Nariyah ini biasa jadi amalan banyak orang Islam. Shalawat Nariyah ini sering disebut sebagai shalawat Tafrijiyah juga. 
    
    Bagi saya pribadi, apa pun bentuknya, sebuah shalawat adalah bentuk pemuliaan dan sanjungan kita kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Ada banyak sekali bacaan shalawat yang ditujukan untuk baginda Nabi. Misalnya shalawat tausi'ul arzaq dan shalawat lain yang dimaksudkan untuk menghilangkan kesedihan.

    Disebutkan dalam kitab Khozinatul Asror (hlm. 179) bahwa, “Salah satu shalawat yang mustajab ialah Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, yang disebut orang Maroko dengan Shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak yang tidak disukai mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat (bi idznillah)”.
Inilah bacaan sholawat nariyah yang terkenal itu :

Bacaan Shalawat Nariyah, Khasiat Dan Sejarahnya

"Allohumma sholli shollatan kamilah wa sallim salaman. Taman 'ala sayyidina Muhammadiladzi tanhallu bihil 'uqodu wa tanfariju bihil kurobu. Wa tuqdhobihil hawa iju wa tunna lu bihiro 'ibu wa husnul khowatim wa yustaqol ghomawu biwaj hihil kariim wa 'ala aalihi washosbihi fii kulli lamhatin wa hafasim bi'adadi kulli ma'luu mi laka ya robbal 'aalamiin"

Artinya :

"Ya Allah Tuhan Kami, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW. Semoga terurai dengan berkahnya segala macam buhulan dilepaskan dari segala kesusahan, ditunaikan segala macam hajat, tercapai segala keinginan dan khusnul khotimah, dicurahkan rahmat dengan berkah pribadinya yang mulia. Kesejahteraan dan keselamatan yang sempurnah itu semoga Engkau limpahkan juga kepada para keluarga dan sahabatnya setiap kedipan mata dan hembusan nafas, bahkan sebanyak pengetahuan Engkau, Ya Tuhan semesta alam"

    “Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam diyakini sebagai kunci gudang yang mumpuni ; Dan imam Dainuri memberikan komentarnya : Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (Fardhu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rezekinya tidak akan putus, disamping mendapatkan pangkat kedudukan dan tingkatan orang kaya”.
Hadits riwayat Ibnu Mundah dari Jabir mengatakan : Rasulullah SAW bersabda : "Siapa membaca shalawat kepadaku sehari 100 kali (dalam riwayat lain) : Siapa membaca shalawal kepadaku 100 kali maka Allah SWT akan mengijabahi 100 kali hajatnya ; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia.."

    Dan hadits Rasulullah SAW yang mengatakan ; Perbanyaklah shahawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab An-Nuzhah yang dikutib juga dalam Khozinatul Asror.

    Diriwayatkan juga Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits, beliau bersabda : Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku, jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. Hadits riwayat Al-Hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab Shalawat ‘Ala An-Nary. Imam Haitami menyebutkan dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, ia menganggap shahih hadits diatas.
Hal ini jelas bahwa Rasulullah SAW memintakan ampun umatnya di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa untuk umatnya pasti bermanfaat. Ada lagi hadits lain : Rasulullah SAW bersabda : "Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa mennjawab salam itu". (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam An-Nawawi, dan sanadnya shahih)
Bagi anda yang tidak setuju dengan adanya shalawat Nariyah ini, silahkan saja. Namun jangan sampai terlalu jauh mengatakan para pengamalnya sebagai Syirik atau Bid’ah. Ada banyak sekali hal yang tidak kita ketahui tentang agama ini. Mungkin saja anda juga tidak benar dengan pendapat anda.

    Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syekh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras nabi dalam menyampaikan wahyu Allah, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga syekh selalu berdoa kepada Allah memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan syekh nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut sholawat nariyah.

    Suatu malam syekh nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allah. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti syekh nariyah. Namun nabi mengatakan tidak bisa karena syekh nariyah sudah minta terlebih dahulu.

    Mengapa sahabat itu ditolak nabi? dan justru syekh nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh syekh nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allah sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat.

    Jadi nabi berperan sebagai wasilah yang bisa melancarkan doa umat yang bersholawat kepadanya. Inilah salah satu rahasia doa/sholawat yang tidak banyak orang tahu sehingga banyak yang bertanya kenapa nabi malah didoakan umatnya? untuk itulah jika kita berdoa kepada Allah jangan lupa terlebih dahulu bersholawat kepada Nabi SAW karena doa kita akan lebih terkabul daripada tidak berwasilah melalui bersholawat.

    Inilah riwayat singkat sholawat nariyah. Hingga kini banyak orang yang mengamalkan sholawat ini, tak lain karena meniru yang dilakukan syekh nariyah. Dan ada baiknya sholawat ini dibaca 4444 kali karena syekh nariyah memperoleh karomah setelah membaca 4444 kali. Jadi jumlah amalan itu tak lebih dari itba' (mengikuti) ajaran syekh.

Agar bermanfaat, membacanya harus disertai keyakinan yang kuat, sebab Allah itu berada dalam prasangka hambanya. Inilah pentingnya punya pemikiran yang positif agar doa kita pun terkabul. Meski kita berdoa tapi tidak yakin (pikiran negatif) maka bisa dipastikan doanya tertolak.

Mbah Maimoen dan Gus Baha'


    Beberapa tahun lalu, di sebuah pengajian kitab yang terbuka untuk umum, almarhum Mbah Maimun Zubair ketika memberi pengantar tentang kealiman para tokoh di balik kitab tersebut. Tiba-tiba beliau berseloroh kepada Gus Baha’ yang waktu itu juga hadir. “Nek kowe karo aku pinter endi, Ha’?”

Dengan wajah tersenyum, Gus Baha’ menjawab spontan, “Pinter kula sekedhik, Mbah...”

Mbah Maimun tertawa. Demikian juga para hadirin. Kisah itu, saya dapatkan dari seorang sahabat yang tinggal di Yogya, tapi rajin sowan ke Mbah Maimun.

    Seloroh tersebut bukan hanya menunjukkan kedekatan Mbah Maimun dengan salah satu santrinya yang punya kadar kealiman mendalam. Kalau tidak diakui kealimannya, rasanya tidak mungkin Mbah Maimun bertanya demikian kepada Gus Baha’. Dan tentu saja menunjukkan hubungan yang ‘istimewa’ antara sang kiai dengan sang santri. Kalau Anda rajin mendengarkan pengajian Gus Baha’, nama orang alim yang paling sering disebut beliau adalah Mbah Maimun, selain itu tentu saja nama ayah Gus Baha’ sendiri.

    Di dalam bahasa Jawa, frasa ‘pinter-kula-sekedhik’ bisa diberi dua makna. Pertama, ‘kepintaran saya hanya sedikit’. Jika diberi makna ini, Gus Baha’ tentu saja sedang merendah di depan sang guru. Tapi bisa juga diberi diartikan ‘pintaran saya sedikit’. Tentu saja kalau dalam konteks seperti itu, Gus Baha’ sedang bercanda, mencandai gurunya. Bisa jadi memang Gus Baha’ lebih pintar dibanding Mbah Maimun, tapi tafsir itu tidak relevan dalam humor di atas. Beberapa kali bahkan, Gus Baha’ bersaksi, ciri khas Mbah Maimun itu senang guyon. Ayah Gus Baha’ juga seneng guyon. Makanya Gus Baha’ juga senang guyon.

    Di salah satu pengajiannya, Gus Baha’ pernah membahas, seorang kiai yang bijak tidak pernah membedakan antara santri pintar dan santri bodoh. Salah satu yang dimaksud tentu saja Mbah Maimun. Cara pandang seperti itu juga diamini dan diyakini oleh Gus Baha’ sendiri. Itu bukan hanya perkara menghargai santri sebagai sesama makhluk Tuhan. Ada perkara lain...

    Begini. Santri yang pintar, tentu saja menonjol. Kalau menonjol, tentu saja mudah terkenal. Kalau mudah terkenal, tentu saja punya akses terhadap apapun, baik itu secara ekonomi maupun politik. Walhasil, ‘karier’ santri seperti ini ujung-ujungnya adalah ‘berpolitik’. Bukan menjalankan laku sebagai orang alim yang mengajar mengaji.

    Sementara santri ‘bodoh’ atau supaya lebih enak, mari kita sebut dengan ‘santri-kurang-pintar’, karena tidak terkenal, tidak menonjol, dan tidak punya akses kepada ekonomi, politik, apalagi kekuasaan, lebih memilih pulang ke kampungnya atau tinggal di kampung lain. Biasanya, di kampung, santri-kurang-pintar itu menjadi sosok yang paling pintar. Dia kemudian mengajar mengaji, jadi imam di masjid atau langgar, bikin pondok kecil, atau hal lain semacam itu. Sehingga ilmu yang didapatnya berbelas tahun di pondok menjadi berguna.

    Tentu saja ini bukan soal mana jalan yang benar dan yang keliru bagi seorang santri. Perkara ini menunjukkan betapa jauh pemikiran para kiai, termasuk almarhum Mbah Maimun serta Gus Baha’. Pada titik itulah, guna sosial seseorang sesungguhnya tidak ada sangkut-pautnya dengan tingkat intelektualitasnya.

    Ada banyak sekali orang di dunia ini, yang pikirannya pas-pasan, untuk tidak menyebut bodoh, tapi laku mereka luhur, menghasilkan banyak hal berguna di kehidupan kita.

Alfatihah untuk Mbah Maimun...

Enam Amalan Sunnah di Idul Adha


    Idul Fitri dan Idul Adha datang sekali dalam satu tahun. Keduanya adalah hari besar Islam dengan fadhilah yang berbeda. Masing-masing memiliki keutamaannya sendiri dan juga memeiliki kesunnahan yang berbeda.

    Ibadah sunnah tahunan ini mempunyai ciri khas masing-masing, Hari Raya Idul Fitri misalnya ditengarai dengan saling bermaaf-maafan, berkunjung kesanak family dan para kerabat. Berbeda dengan Hari Raya Idul Adha yang dikenal dengan Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji, karena pada hari itu kegiatan kurban dan ibadah haji dilaksanakan.

    Sebagai ibadah tahunan, maka hendaknya kita laksanakan dengan sesempurna mungkin dengan menjalankan semua amalan-amalan sunnah pada hari tersebut dengan niat tulus dan mengharap pahala dari Allah SWT. Berikut kesunahan yang dianjurkan oleh para ulama’,

    Pertama, Mengumandangkan takbir di Masjid-masjid, Mushalla dan rumah-rumah pada malam hari raya, dimulai dari terbenamnya matahari sampai imam naik ke mimbar untuk berkhutbah pada hari raya idul fitri dan sampai hari terakhir tanggal 13 Dzulhijjah pada hari tasyriq. Karena pada malam tersebut kita dianjurkan untuk mengagungkan , memuliakan dan menghidupkannnya, anjuran ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Raudlatut Thalibin

فَيُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ الْمُرْسَلُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي الْعِيدَيْنِ جَمِيعًا، وَيُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكَّدًا، إِحْيَاءُ لَيْلَتَيِ الْعِيدِ بِالْعِبَادَةِ

     Disunahkan mengumandangkan takbir pada malam hari raya mulai terbenamnya matahari, dan sangat disunahkan juga menghidupkan malam hari raya tersebut dengan beribadah.Sebagian fuqaha’ ada yang memberi keterangan tentang beribadah dimalam hari raya, yaitu dengan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ berjama’ah, sampai dengan melaksanakan shalat subuh berjama’ah.

    Kedua, mandi untuk shalat Id sebelum berangkat ke masjid, hal ini boleh dilakukan mulai pertengahan malam, sebelum waktu subuh, dan yang lebih utama adalah sesudah waktu subuh, dikarenakan tujuan dari mandi adalah membersihkan anggotan badan dari bau yang tidak sedap, dan membuat badan menjadi segar bugar, maka mandi sebelum waktu berangkat adalah yang paling baik. Berbeda jika mandinya setelah pertengahan malam maka kemungkinan bau badan akan kembali lagi, begitu juga kebugaran badan.

يُسَنُّ الْغُسْلُ لِلْعِيدَيْنِ، وَيَجُوزُ بَعْدَ الْفَجْرِ قَطْعًا، وَكَذَا قَبْلَهُ، ويختص بالنصف الثاني من الليل

    Disunnahkan mandi untuk shalat Id, untuk waktunya boleh setelah masuk waktu subuh atau sebelum subuh, ata pertengahan malam.

    Kesunahan mandi adalah untuk semua kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, baik yang akan akan berangkat melaksanakan shalat Id maupun bagi perempuan yang sedang udzur syar’I sehingga tidak bisa melaksanakan shalat Id.

    Ketiga, disunahkan memakai wangi-wangian, memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau-bau yang tidak enak, untuk memperoleh keutamaan hari raya tersebut. Pada hakikatnya hal-hal tersebut boleh dilakukan kapan saja, ketika dalam kondisi yang memungkinkan, dan tidak harus menunggu datangnya hari raya, misalnya saja seminggu sekali saat hendak melaksanakan shalat jum’at. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab terdapat keterangan mengenai amalan sunnah ini,

والسنة أن يتنظف بحلق الشعر وتقليم الظفر وقطع الرائحة لانه يوم عيد فسن فيه ما ذكرناه كيوم الجمعة والسنة أن يتطيب

    Disunnahkan pada hari raya Id membersihkan anggota badan dengn memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau badan yang tidak enak, karena amalan tersebut sebagaimana dilaksanakan pada hari Jum’at, dan disunnahkan juga memakai wangi-wangian.

    Keempat, memakai pakaian yang paling baik lagi bersih dan suci jika memilikinya, jika tidak memilikinya maka cukup memakai pakaian yang bersih dan suci, akan tetapi sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang paling utama adalah memakai pakaian yang putih dan memakai serban.

    Berkaitan dengan memakai pakaian putih, ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki yang hendak mengikuti jama’ah shalat Id maupun yang tidak mengikutinya, semisal satpam atau seseorang yang bertugas menjaga keamanan lingkungan, anjurannya ini tidak terkhususkan bagi yang hendak berangkat shalat saja, melainkan kepada semuanya.

    Sedangkan untuk kaum perempuan, maka cukuplah memakai pakaian yang sederhana atau pakaian yang biasa ia pakai sehari-hari, karena berdandan dan berpakaian secara berlebihan hukumnya makruh, begitu juga menggunakan wangi-wangian secara berlebihan. Dalam Kitab Raudlatut Thalibin dijelaskan,

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُهُ مِنَ الثِّيَابِ، وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ، وَيَتَعَمَّمُ. فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا، اسْتُحِبَّ أَنْ يَغْسِلَهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، وَيَسْتَوِي فِي اسْتِحْبَابِ جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ، الْقَاعِدُ فِي بَيْتِهِ، وَالْخَارِجُ إِلَى الصَّلَاةِ، هَذَا حُكْمُ الرِّجَالِ. وَأَمَّا النِّسَاءُ، فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْجَمَالِ وَالْهَيْئَةِ الْحُضُورُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْعَجَائِزِ، وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ، وَلَا يَتَطَيَّبْنَ، وَلَا يَلْبَسْنَ مَا يُشْهِرُهُنَّ مِنَ الثِّيَابِ، بَلْ يَخْرُجْنَ فِي بِذْلَتِهِنَّ.

    Disunnahkan memakai pakaian yang paling baik, dan yang lebih utama adalah pakaian warna putih dan juga memakai serban. Jika hanya memiliki satu pakaian saja, maka tidaklah mengapa ia memakainya. Ketentuan ini berlaku bagi kaum laki-laki yang hendak berangkat shalat Id maupun yang tidak. Sedangkan untuk kaum perempuan cukupla ia memakai pakaian biasa sebagaimana pakaian sehari-hari, dan janganlah ia berlebih-lebihan dalam berpakaian serta memakai wangi-wangian.

    Sabda Nabi SAW berikut memberi penjelasan tentang memakai pakaian yang paling baik, riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas RA,

كَانَ يلبس في العيد برد حبرة

    Rasulullah SAW di hari raya Id memakai Burda Hibarah (pakaian yang indah berasal dari yaman).Kelima, ketika berjalan menuju ke masjid ataupun tempat shalat Id hendaklah ia berjalan kaki karena hal itu lebih utama, sedangkan untuk para orang yang telah berumur dan orang yang tidak mampu berjalan, maka boleh saja ia berangkat dengan menggunakan kendaraan. Dikarenakan dengan berjalan kaki ia bisa bertegur sapa mengucapkan salam dan juga bisa bermushafahah (Bersalam-salaman) sesama kaum muslimin. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat dari Ibnu Umar,

كَانَ يَخْرُجُ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا

Rasulullah SAW berangkat untuk melaksanakan shalat Id dengan berjalan kaki, begitupun ketika     pulang tempat shalat Id.

    Selain itu dianjurkan juga berangkat lebih awal supaya mendapatkan shaf atau barisan depan, sembari menunggu shalat Id dilaksanakan ia bisa bertakbir secara bersama-sama di masjid dengan para jama’ah yang telah hadir. Imam Nawawi dalam Kitabnya Raudlatut Thalibin menerangkan anjuran tersebut,

السُّنَّةُ لِقَاصِدِ الْعِيدِ الْمَشْيُ. فَإِنْ ضَعُفَ لِكِبَرٍ، أَوْ مَرَضٍ، فَلَهُ الرُّكُوبُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ أَنْ يُبَكِّرُوا إِلَى صَلَاةِ الْعِيدِ إِذَا صَلَّوُا الصُّبْحَ، لِيَأْخُذُوا مَجَالِسَهُمْ وَيَنْتَظِرُوا الصَّلَاة

    Bagi yang hendak melaksanakan shalat Id disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, sedangkan untuk orang yang telah lanjut usia atau tidak mampu berjalan maka boleh ia menggunakan kendaraan. Disunnahkan juga berangkat lebih awal untuk shalat Id setelah selesai mengerjakan shalat subuh, untuk mendapatkan shaf atau barisan depan sembari menunggu dilaksanakannya shalat.

    Keenam, untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan makan setelah selesai melaksanakan shalat Id, berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri disunahkan makan sebelum melaksanakan shalat Id. Pada masa Nabi SAW makanan tersebut berupa kurma yang jumlahnya ganjil, entah itu satu biji, tiga biji ataupun lima biji, karena makanan pokok orang arab adalah kurma. Jika di Indonesia makanan pokok adalah nasi, akan tetapi jika memiliki kurma maka hal itu lebih utama, jika tidak mendapatinya maka cukuplah dengan makan nasi atau sesuai dengan makanan pokok daerah tertentu.

 عن بريدة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ويوم النحر لا يأكل حتي يرجع

    Diriwayatkan dari Sahabat Buraidah RA, bahwa Nabi SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan, dan pada hari raya Idul Adha sehingga beliau kembali kerumah.

Diriwayatkan juga dari Sahabat Anas RA,

نَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَخْرُجُ يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وترا

Rasulullah SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa kurma yang jumlahnya ganjil.

    Dengan demikian, anjuran makan pada hari raya Idul Adha adalah setelah selesai melaksanakan shalat Id, alanglah lebih baik jika ia makan kurma sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi jika tidak mendapati kurma, bolehnya ia makan dengan yang lain, misalnya nasi bagi rakyat Indonesia, disesuaikan dengan makanan pokok daerah tertentu.

Jumat, 09 Agustus 2019

Gaji Gus Dur


Prof. Mahfud MD, dalam setahun bersama Gus Dur, pernah bercerita : "Pada bulan pertama menjadi presiden, Gus Dur menerima gaji dengan amplop coklat ketika dia sedang duduk bersama Alwi Shihab dan Arifin Junaidi.” Sesudah menandatangani bukti penerimaan gaji tersebut, Gus Dur menyerahkan amplop coklat itu kepada Alwi Shihab, sambil berkata dg bergurau: “Kamu harus membeli jas yang bagus. Menteri luar negeri jangan memalukan,”. Bulan berikutnya, Gus Dur menyerahkan gajinya kepada menteri negara riset dan teknologi (Menristek), Prof. AS Hikam yang ketika itu sedang di Istana. “Nih, beli sepatu dan jas. Masak, Menristek sepatunya jelek,” kata Gus Dur bercanda lagi.

Arifin Junaidi merasa heran. Ketika dia tanya kepada Gus Dur, mengapa gajinya diserahkan kepada orang lain. Gus Dur malah menjawab, “Ya sudah, gaji bulan berikutnya untuk kamu saja.”
Arifin Junaidi kaget dan berkata, “Bukan begitu, Gus. Maksud saya, Gus Dur harus menyimpan gaji itu untuk kebutuhan Gus Dur karena itu adalah gaji Gus Dur sebagai Presiden.” Gus Dur dengan santai menjawab, “Lha, semua kebutuhan saya sudah disediakan di sini (Istana). Saya tak butuh apa-apa, biar dipakai oleh yang butuh saja.” .
Untuk alm. Gus Dur, *Alfatihah..*

Tarim: Negeri Para Wali



Tarim, adalah sebuah kota bersejarah yang terletak di Hadlromaut Yaman. Di Tarim terdapat banyak masjid, jumlahnya mencapai 360 Masjid, sesuai dengan sehari dalam setahun.

Selain itu, Tarim juga dikenal dengan gudangnya Ulama' serta ilmu. Di antara ulama' asal Tarim adalah, Habib Salim As-Syathiri, Habib Abdulloh bin Syihab, Habib Umar Al-Hafidz, Habib Ali Al-Jufry. Kota suci ini juga memiliki julukan 1000 wali ini, menjadi tempat posisi pertama dimana wali-wali Allah tinggal.

Habib Umar bin Hafidz mengungkapkan rahasia bagaimana Tarim bisa menjadi kota suci yang dipenuhi ribuan wali, bahkan konon anak kecil disana, belum tumbuh kumisnya sudah bisa menjadi seorang wali yang ahli kasyaf.
"Wanita-wanita Tarim.. "tutur Habib Umar.

Mereka selalu mendidik anak-anak mereka dengan dzikir dan sholawat sejak kecil. Ketika menggendong anak mereka berdzikir dan bersholawat. Ketika menyusui mereka berdzikir dan bersholawat. Ketika memasak pun juga begitu. Jadi tidak heran jika putra-putra mereka menjadi para Auliya' dan Ulama.

Bandingkan dengan kebanyakan wanita di zaman sekarang yang menggendong dan menyusui anaknya sambil menonton musalsalat dan hal-hal tak berfaedah lainnya..?"
"Aku masih ingat" Habib Umar berkisah lagi "para wanita Tarim yang bertanya hukum dan meminta fatwa kepada ayahku, mereka selalu membuat kasar suara mereka layaknya seorang lelaki. Mereka tidak melembutkan suara mereka untuk menghindari fitnah dan karena rasa malu mereka teramat tinggi. 

Bandingkan dengan wanita sekarang yang tidak kenal malu dan malah bermanja-manja menelpon lelaki yang bukan mahromnya?"
Wanita yang baik bukanlah ia yang tidak mempunyai dosa dan kesalahan. Tapi ia adalah seseorang, yang meskipun ia sadar bahwa ia memiliki masa lalu yang kelam, tapi ia tetap terus berusaha menjadi wanita yang di ridhoi Allah dan Rasul-Nya. Meski seringkali terjatuh dan tertatih-tatih , ia tetap terus melawan nafsunya untuk meniti jejak Sayyidah Fatimah, Sayyidah Khodijah dan wanita-wanita agung lainnya.
Malunya

Sumber: An-Naml

Kisah Ibrahim, Sendirian Dari Maroko ke Indonesia Hanya Pengen Sowan ke Mbah Maemoen Zubair Sarang


Ibrahim, dia seorang anak tampan berkebangsaan maroko yang tanggal 15-6-2016 sowan ke Mbah Mun Sarang. Usianya masih 14 tahun dan dia baru saja lulus dari sekolah i'dadiyah (kalau di indonesia mirip SMP kira kira) di Maroko.

Ayahnya di Maroko memiliki beberapa rumah yang disewakan untuk tempat tinggal pelajar indonesia yang sedang menempuh pendidikan disana. Dan pelajar yang tinggal disana tidak dipungut biaya sedikitpun oleh ayahnya.

Nah saat kelulusan kemarin dia mendapatkan Ranking dengan nilai tertinggi di sekolahnya sehingga membuat ayahnya senang dan mempersilahkan ibrahim untuk mengajukan permintaan dan apa saja yang akan diminta ibrahim akan dituruti oleh ayahnya.

Diapun dengan ketangkasannya meminta pada ayahnya untuk berkunjung ke indonesia menemui mbah Maemun Zubair serta kenalan nya. Ibra mengenal mbah maemun sejak lama sebab dia sering diceritakan tentang sosok mbah maemun oleh salah satu pelajar yang tinggal dirumahnya yang kebetulan juga pernah mondok disarang.

Ibrahim mengenal sosok KH Maemun Zubair sebagai sosok sepuh yang alim memiliki cakrawala yang luas dan menelurkan santri yang menjadi ulama'. Dan diapun

dizinkan oleh bapaknya pergi ke indonesia. Hebatnya dia datang ke indonesia sendian saja diapun dijemput oleh kenalannya yang pernah tinggal dirumahnya di airport dan langsung sowan ke ndalem simbah Maemun Zubair.
Saat Ibrahim bertemu mbah Maemun dia sangat senang sekali saat melihat wajah mbah maemun yang syahdu dan ramah. Mbah Maemun pun kagum akan keberanian dan ketangkasan ibrahim.

Perbincangan mereka berdua terlihat asyik meski beda usia, mbah maemun pun bercerita bahwa beliau pernah berkunjung ke maroko sholat di masjid Al Hasan Tsani yang merupakan masjid terbesar di maroko. Beliau juga berkisah saat disana mengisi ceramah di beberapa institusi disana.

Rencananya Ibrahim akan tinggal 1 satu bulan di indonesia. Dan mbah Mun pun mendoakan Ibrahim agar menjadi anak yang sholih dan sukses cita citanya. Aamiin... (Moh. Nasirul Haq/Ibnu Yaqzan)

Mengenal kitab Faraidl As-Saniyyah Wa Ad-Durar Al-Bahiyyah: Kitab Hujjah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Di Indonesia pada dekade 60 sampai 70-an, muncul gerakan-gerakan anti adat dan penolakan atas kulturisasi agama dengan alasan bertentangan ...